Selasa, 05 Mei 2009

TOPENG KAYU KARYA KUNTO WIJOYO

tittle

TOPENG KAYU
KARYA KUNTO WIJOYO


A. PENDAHULUAN
Drama merupakan jenis atau genre karya sastra yang sangat komplek. Selain berbentuk tek, drama merupakan jenis sastra yang dipentaskan. Di sinilah perbedaan drama dengan genre sastra lainya. Dengan demikian drama sering disebut sebagai potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit manis, hitam putih kehidupan manusia (Herman Waluyo, 2001: 1). Sebagai sebuah potret kehidupan, drama yang dipentaskan harus berusaha semaksimal mungkin meniru kehidupan manusia yang sebenarnya.
Dalam sejarahnya drama pernah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dihampir semua media komunikasi seperti televisi, radio maupun dalam pertunjukan-pertunjukan khusus, drama sering menjadi tontonan wajib masyarakat. Namun dalam perkembangannya, jenis karya sastra ini mengalami kemunduran yang sangat drastis. Pasalnya bagi masyarakat moderen, karya sastra berbentuk novel (prosa) dan puisi lebih populer dibanding dengan drama. Dalam penelitian Dr. Yus Rusyana (1979) disimpulkan bahwa minat siswa dalam membaca karya sastra terbanyak adalah prosa, menyusul puisi, baru kemudian drama. Perbandingannya 6:3:1 (via Herman Waluyo, 2001). Dulu kita mengenal penulis drama, kaliber dunia yang sangat berpengaruh seperti Shakespear, George Bernard Shaw, dan lain-lain. Namun saat ini nampaknya genre sastra seperti drama sangat minim diminati (Raudal Tanjung Banua, 2008).
Drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berrarti berbuat, berlaku, bertindak beraksi, dan sebagainya (Haryawan, 1988: 1). Berdasarkan dari pengertian ini yang dinamakan dengan drama sangat berkaitan erat dengan pementasan. Namun dalam perkembangannya drama dapat juga ditampilkan dalam bentuk tulisan yang dinamakan dengan tek drama atau naskah drama. Dalam bukunya Aristote’s Poetic, Aristotle menyatakan bahwa karya drama adalah suatu cara meniru tindakan kehidupan manusia (Deitrich, 1953: 3). Oleh karena itu ahli yang lain mengatakan bahwa drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak (Baltazar Verhagen). Lebih jelas lagi Dietrick menyatakan bahwa drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan action pada pentas dihadapan penonton atau audience.
Dari pengertian dasar tersebut di atas, istilah drama memiliki dua kemungkinanan, yaitu drama naskah dan drama pentas. Keduanya bersumber pada drama naskah. Oleh sebab itu pembicaraan tentang drama naskah merupakan dasar dari telaah drama. Naskah drama dapat dijadikan bahan studi sastra, dapat dipentasakan dan dapat dipagelarkan dalam media audio, berupa sandiwara radio atau kaset. Pagelaran pentas dapat di depan publik langusng, dapat juga di dalam televisi. Dan dalam perkembangannya drama yang dipentaskan di televisi sudah seperti menulis skenario film (Herman Waluyo, 2001: 2).
Moulton menyatakan bahwa drama (pentas) sebagai hidup manusia yang dilukiskan dengan action. Hidup manusia yang dilukiskan dengan action itu terlebih dulu dituliskan, maka drama baik yang dipentaskan maupun yang berupa tek, berhubungan dengan bahasa sastra. Itulah sebabnya dalam menelaah tek drama perlu juga menganalisis bahasa konotatif yang dimilikinya. Pemakaian ambang, kiasan, irama pemilihan kata yang khas, dan sebagainya berprinsip sama dengan karya sastra yang lain. Perbedaannya bahasa dalam drama lebih dominan pada bahasa dialog atau percakapan. Yang sangat berbeda dengan bahasa puisi maupun prosa.
Sebagai sebuah tiruan kehidupan manusia, sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, drama mamiliki nilai-nilai kritik sosial yang sangat kental. Jika dibandingkan dengan genre yang lain, karya drama nampaknya mamiliki bobot yang lebih kuat sebagai media kritik sosial. Oleh karena itu dalam bahasa Indonesia drama sering disebut dengan kata sandiwara. Istilah ini diambil dari bahasa Jawa “Sandi” dan “Warah”. Sandi adalah rahasia, sedangkan Warah berarti pelajaran. Dengan demikian sandiwara dapat diartikan sebagai pelajaran yang diberikan secara diam-diam atau rahasia. Hal ini sama dengan yang dimaksudkan dengan Toneel (tonil) dari bahasa Belanda yang memiliki arti sama dengan sandiwara (Herman Waluyo, 2001: 3).


B. TOPENG KAYU
Drama ini ditulis oleh seorang ahli sejarah yang bernama Kuntowijoyo. Selain dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang Sejarah, ia dikenal juga sebagai seorang dramawan atau seniman. Topeng Kayu merupakan drama kedua yang mendapat hadiah dari Dewan kesenian Jakarta pada tahun 1973.
Topeng Kayu merupakan sebuah drama yang berbicara mengenai kekuasaan. Kekuasaaan merupakan perihal yang sangat penting dalam kehidupan. Namun dalam kontek ini, drama Kuntowijoyo berbicara mengenai kekuasaan yang bersifat manusiawi. Yaitu kekuasaan manusia baik yang berupa kekuasaan atas massa tertentu, kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik dan sebagainya. Artinya apa yang disinggung disini adalah kekuasaan selain kekuasaan Tuhan.
Sebagai sebuah drama yang membicarakan sebuah kekuasaan. Drama ini berisikan kritik terhadap kekuasaan setan yang sehari-hari ada dalam kehidupan manusia: kekuasaan ekonomi, kekuasaan ilmu, kekuasaan teknologi, kekuasaan birokrasi, dan sebagainya. (Kunto Wijoyo, 2000: v).
Tek drama Topeng Kayu tidak menggunakan nama-nama yang sesungguhnya, tetapi menggunakan nama samaran. Nama-nama yang digunakan adalah nama profesi atau predikat yang disandang oleh masing-masing tokoh. Di sinilah keterkaitan makna dari judul drama ini. Topeng adalah penutup muka yang digunakan untuk menyembunyikan wajah atau menyembunyikan identitas aslinya. Dari topeng yang dikenakan tersebut dapat ditebak sifat atau sikap yang dimiliki pelaku yang terlihat dari tingkah laku yang diperankan. Dengan nama samaran ini juga dapat dipahami perangai masing-masing tokoh. Gaya bicara dan pilihan kata-kata yang digunakan yang secara langsung menunjukan siapa mereka sesungguhnya. Namun demikian agar memudahkan pemahaman kita akan apa yang ada dalam drama ini terlebih dahulu akan dibahas isi secara ringkas dari drama tersebut.
Dalam membicarakan atau menganalisis sebuah karya sastra yang berupa drama, kita tidak akan pernah lepas dari unsur-unsur instrinsik yang ada dalam karya tersebut. Unsur-unsur tersebut diantaranya; plot, tokoh dan penokohan, setting, tema, sudut pandang (point of view), simbolisme (symbolism) dan gaya (style) (Robert Stanton, 1965). Namun demikian dalam tulisan ini hanya akan dibahas dua hal pokok yaitu plot dan tokoh. Kedua komponen ini merupkan inti dari sebuah cerita, baik drama maupun novel. Apalagi dalam karya sastra pementasan, tokoh dan plot merupakan unsur sangat penting.
Meskipun terbatas pada pembahasan plot dan penokohan dalam tek drama, dalam prakteknya nanti juga akan menyinggung beberapa unsur lain. Karena pada hakekatnya unsur-unsur instrinsik tersebut akan saling berkaitan satu dengan yang lain. Terutama tema yang menjadi inti dari cerita tersebut.

a. Plot
Dalam pengertian yang lebih umum, plot merupakan rangkaian dari kejadian-kejadian dalam suatu drama, The plot of a story is its entire sequence of events (Robert Stanton, 1964: 14). Jadi rangkaian alur cerita pada sebuah kisah itu bermacam –macam, dan selalu mengalami perubahan. Disilah yang membedakan karya sastra dengan karya lain seperti biografi atau cerita kenyataan lainnya. Menurut Freytag, plot drama dapat dimulai dari pengenalan atau penggambaran secara umum. Ia menambahkan bahwa ada lima rangkaian kejadian dalam sebuah cerita yaitu: exposition, rising action climax, falling action dan denounment (via Wikipedia). Dari kelima tahap ini tidak harus semua diaplikasikan tetapi untuk novel atau cerpen dapat dipersingkat.
Dari kelima tahapan tersebut masing-masing memiliki perbedaan-perbedaan. Hal itu dapat terlihat dari kompleksitas persoalan yang ada dalam sebuah cerita. Perlu diingat bahwa tahapan itu masing-masing berbeda antara karya sastra yang satu dengan yang lainnya. Berikut ini penjelasan singkat masing-masing tahapan tersebut;

1). Exposition atau Pelukisan Awal Cerita
Pada tahap ini cerita dimulai dari pengenalan akan apa yang ada dalam cerita tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan mengenalkan tokoh-tokoh protagonis, antagonis, dasar konflik dan juga settingnya. Dalam tahap ini bisa juga menggambarkan secara umum mengenai tema yang akan menjadi inti cerita dalam cerita tersebut. Dengan kata lain exposition merupakan pembuka dari suatu cerita (William Kenny, 1966:15).

Dalam drama Topeng Kayu selanjutnya disingkat TK tahap awal merupakan pengenalan tokoh sekaligus tema yang menjadi persoalan utama cerita ini. Kata-kata Juru Kunci dapat dipastikan sebagai pembuka dari seluruh isi pembicaraan dari drama TOPENG KAYU.

Juru Kunci:
Diperkenalkan saja. Nama, pangkat dan jabaatan saya Juru Kunci. Sebentar lagi akan saya buka rahasia sebuah taman surgawi. Tetapi jangan salah paham. Taman ini bisa dibangun dimana saja. Kata sahibul hikayat taman ini diciptakan persis ketika Bapa Adam dan Ibu Hawa turun ke bumi. Disini pernah bersemayam para nabi, orang suci, dan semua yang mulia-mulia. Jangan cemas, taman ini bukan saja untuk orang-orang istimewa, juga untuk orang yang biasa-biasa saja. Kalau tuan dan nyonya menginginkan, datang ke sini. Akan tampak keajaiban, yang belum terlintas bahkan dalam mimpi. Sayang kamus bahasa kita tidak memadai untuk melukiskannya. Buktikanlah sebelum terlambat. Sungguh pengalaman yang jarang. Tuan-tuan dan Nyoya-nyonya akan jadi manusia baru, tanpa memandang sejarah yang lalu. Wallahualam. (Topeng Kayu: 3)

Ungkapan di atas menunjukan siapa si pembicara sesungguhnya. Si pembicara merupakan orang yang menjadi perhatian dalam drama ini. Karena dari ungkapan tersebut, mengindikasikan seluruh persoalan akan bermula dari ungkapan Juru Kunci ini. Dengan demikian kata-kata ini bukan sekedar memperkenalkan tokoh, tetapi juga tema atau pokok persoalan yang akan dibicarakan dalam drama ini.


2). Rising Action
Pada tahap ini dasar konflik menjadi semakin sulit dengan lahirnya masalah baru. Masalah baru ini menjadi tantangan bagi tokoh utama untuk menyelesaikanya. Pada tahap ini juga mulai datang konflik dengan hadirnya tokoh antagonis. Peningkatan kompleksitas persoalan dapat dipahami dari perubahan sikap tokoh utama maupun ditandai dengan adanya ide-ide jahat dari tokoh antagonis.

Dalam drama TOPENG KAYU rising action dimulai ketika Juru kunci menghilang. Keadaan ini mulai membuat tokoh lain; Para Pelancong gelisah. Mereka memikirkan kemana juru kunci itu pergi. Kemudian mereka mereka-reka dimanakah juru kunci itu.
Para pelancong :
Dimana? Di sini. Bukan. Di sana? Tidak. Lalu dimana? Di mana-mana berada di mana-mana. Tidak dimana-mana. Berada dimana-mana. Tidak berda dimana-mana. Sama saja. Sekedar istilah. Untuk menunjukan rahasia. Nah, ternyata kita sudah mulai! (Tukang Kayu,)

Ungkapan Para Pelancong ini mengindikasikan timbulnya persoalan. Mereka yang haus akan hiburan demi kebahagiaan, mulai bingung dengan hakekat kebahagiaan yang mereka idamkan. Apakah kebahagiaan terdapat dalam benda-benda materi duniawi, atau terdapat dalam diri mereka sendiri? Persoalan inilah yang kemudian menjadi bahasan utama dari seluruh pembicaraan dalam drama ini.

Persoalan yang ada dalam drama ini mulai menanjak juga ditandai dengan kehadiran tokoh Pelacur. Dengan kehadiran tokoh ini persoalan semakin meruncing. Persoalan tidak mudah ditemukan atau dipecahkan. Masing-masing tokoh memiliki gagasan yang berbeda mengenai makna kebahagiaan yang sesungguhnya.



3). Climax (Turning Point)
Pada saat ini konflik sudah memuncak dan harus diselesaikan oleh tokoh utama. Saat ini juga yang menentukan kualitas tokoh antagonis menjadi semakin baik atau semakin buruk. Jika cerita berupa komedi persoalan akan semakin buruk, kemudian persoalan semakin membaik untuk menghibur. Tetapi pada cerita yang berbentuk tragedi akhir cerita akan mengalahkan tokoh protagonis.

Klimak atau puncak dari persoalan dalam drama ini adalah ketika masing-masing tokoh memperdebatkan hakekat kebahagiaan. Masing-masing tokoh memiliki pandangan yang berbeda mengenai tujuan hidup mereka. Tokoh Orang tua misalnya menyatakan bahwa ;

Laki-Laki Tua:
Lho saya datang bukan untuk berhibur. Tetapi mencari kebijaksanaan. Orang-orang tua yang segera dikubur tidak lagi suka hiburan. Yang diperlukan ialah kesempuranaan. Hidup itu hanya sebentar. Sedangkan mati itu abadi. Yang penting ialah kesempurnaan mati. Apakah mati yang sempurna itu? ketahuilah, Nona. Ada tiga macam kematian. Ialah yang konyol, yang sedang-sedang saja, dan yang tinggi mutunya. (Topeng Kayu, 35)

Ungkapan tersebut umumnya mewakili kaum tua yang pada umumnya sudah menyadari hakekat kehidupan yang sesungguhnya. Hal itu dikarenakan pengalaman hidup telah menempa mereka menjadi makhluk yang berpengalaman dan dengan pengalaman itu menjadi bijaksana. Namun demikian apa yang seharusnya itu, tidak demikian yang ada dalam cerita drama ini. Orang tua tersebut hanya sementara saja berpikiran bijaksana. Meskipun sudah berpengalaman dan sudah menyadari hakekat kehidupannya, ia bisa saja melakukan tindakan yang melanggar norma-norma untuk mendapat kebahagiaan duniawi. Tokoh ini juga memberi pemahaman bahwa sekuat apapun keimanan seseorang akan sangat sulit menghindari pengaruh-pengaruh jahat yang ada di sekelilingnya. Hal itu disebabkan oleh beratnya godaan nafsu yang menghantui jiwa-jiwa manusia.

Setelah mengatakan kebijaksanaan tersebut di atas, laki-laki tua ini berubah pikiran setelah menyadari siapa yang diajak bicara.
Laki-Laki Tua:
O! Jadi Nonalah dia! Wah tidak tahu saya! Kaau begitu kita bicara yang lain. Kukira siapa tadi! Udaranya bagus, ya? Tempat ini nyaman. Memabukkan! Mengasyikkan! Siapa sajja yang jantan suka tempat ini! (Topeng Kayu, 36)

Kata-kata orang Tua ini menunjukan betapa munafiknya ia. Setelah mengetahui bahwa lawan bicaranya adalah seorang pelacur maka kata-kata Laki-laki tua itu pun berubah total. Seolah kata-kata bijaknya sudah hilang.

Runtuhnya kebijaksanaan dan kebahagiaan dapat disebabkan oleh perempuan. Oleh karena itu dalam drama ini disebutkan bahwa seberapapun kuat iman seorang laki-laki, maka akan runtuh dengan gudaan perempuan.
Pelacur:
Kebenaran lenyap ketika laki-laki tidur di samping perempuan. Lenyap menyelinap malu di bawah rumputan. Menggeletak dan kering oleh matahari. (Topeng Kayu, 37).

4). Falling Action
Pada tahap ini konflik antara antagonis dan protagonis sudah mereda entah antagonis maupun protagonis yang menjadi pemenang sudah ada gambaran yang jelas. Pada saat ini semua tokoh menjadi menyadari akan semua persoalan, sehingga persoalanya sudah bisa dipecahkan meskipun belum seutuhnya selesai.

Dalam cerita Topeng Kayu, keadaan mereda setelah para pelancong dan Pelacur menyadari tujuan hidupnya. Mereka sadar bahwa hakekat kebahagiaan pada dasarnya terdapat dalam diri mereka sendiri. Jiwa atau pikiran merekalah yang menjadikan mereka bahagia atau tidak bahagia.

Mereka menyadari bahwa selama ini jiwanya telah bertumpu pada hal-hal yang salah. Mereka selama ini lebih mengejar materi duniawi untuk memenuhi hasrat duniawi mereka.

5). Denouement or Catastrophe or Resolution
Pada cerita yang berupa komedi akan diakhiri dengan kesimpulan dimana protagonistis menjadi lebih baik. Sementara pada cerita yang berbentuk tragedi, akan diakhiri dengan dengan sebuah bencana yang akan menimpa tokoh utama dengan demikian tokoh utama menjadi semakin buruk kondisinya.

Dalam drama ini tidak terdapat kesimpulan. Karena drama ini diakhiri dengan sebuah kesadaran masing-masing tokoh atas kesalahan orientasi hidup mereka selama ini. Tidak ada yang kalah atau menang dalam cerita ini. Karena solusi yang diterima masing-masing tokoh merupakan kesadaran pribadi setelah menempuh perjalanan hidup yang melelahkan. Dengan begitu tahap Denouement tidak terdapat dalam drama ini.

Lima tahapan tersebut merupakan hasil analisis dari Freytag. Namun untuk drama-drama yang moderen sudah banyak mengalami perubahan, karena model tersebut dianggap membosankan penonton jika dalam pementasan menggunakan model tersebut. Oleh karena itu dalam bentuk yang lain, plot dama dapat juga dirumuskan menjadi tiga bagian yaitu; benginning (permulaan), pertengahan dan akhir. Bagian awal merupakan pengenalan tokoh, sedangkan pada bagian pertengahan merupakan inti cerita. Setelah itu diikuti dengan terselesaikannya persoalan atau konflik cerita tersebut.
Drama TOPENG KAYU merupakan drama yang menggunakan plot sederhana. Ceritanya dimulai dengan pengenalan tokoh sekaligus tema yang menjadi persoalan utamanya. Kemudian setelah tokoh-tokohnya berperanserta dalam dialog tersebut. Persoalan kemudian meruncing dengan perbedaan selisih tajam mengenai makna dari tujuan hidup mereka.

b. TOKOH
Drama dibangun dari tokoh-tokoh yang saling berkaitan. Peranan tokoh disini sangat ditentukan oleh tema cerita yang dibangun dalam karya ini. Namun pada dasarnya drama dibangun dari konflik tokoh-tokoh yang berperan dalam cerita tersebut. Untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam drama berisi dialog antar tokoh yang saling berhubungan dalam kontek konflik mengenai suatu persoalan yang menjadi tema cerita tersebut. Bagaimana pun bentuk drama harus berisi pelaku yang menggambarkan tokoh-tokoh yang diperankan. Oleh karena itu pementasan drama hendaknya meniru seperti yang sesungguhnya, baik dari segi kostum, sifat dan watak yang diperankan. Dengan demikian baru akan didapatkan sebuah drama yang dramatis (Dietrich, 1953: 25).
Penokohan erat hubungannya dengan perwatakan. Susunan tokoh adalah daftar tokoh-tokoh yang berperan dalam drama itu. Dalam susunan tokoh yang perlu dijelaskan adalah nama, umur, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan dan keadaan kejiwaannya (Waluyo, 2001). Watak tokoh akan terlihat dengan jelas dalam dialog dan catatan samping. Dalam drama Topeng Kayu gambaran tokoh juga dapat dilihat dari nama-mana yang digunakan dalam cerita ini. Tokoh Pelacur misalnya, sudah dapat dipahami sifat dan karakteristik tokoh ini. Ia adalah seseorang yang melakukan suatu tindakan kotor sekedar untuk mendapaTopeng Kayuan imbalan berupa materi. Nama-nama yang digunakan merupakan sebutan profesi mereka. Hal ini mengindikasikan adanya makna di balik semua nama itu.
Tokoh-tokoh yang terdapat dalam drama Topeng Kayu adalah; Juru Kunci, Para Pelancong, Laki-laki Tua, Pelacur, Pedagang, Topeng Kayu, dan Topeng-Topeng. Dari ketuju tokoh yang terdapat dalam drama ini ada tokoh utama atau sentralnya. Tokoh sentralnya dalam drama ini adalah Juru Kunci. Ia merupakan tokoh yang menjadi teka-teki bagi tokoh-tokoh yang lain. Keberadaannya sangat penting bagi Laki-laki Orang Tua dan Para Pelancong. Karena petuah atau nasehat yang diberikan dapat menentramkan hati mereka.
Dalam drama TOPENG KAYU tidak semua tokoh diperkenalkan dengan rinci. Hal ini dikarenakan keberadaan tokoh-tokoh lain sudah jelas kedudukannya yang dapat dilihat dari nama-nama yang dipergunakan. Jadi nama sebagai sebutan masing-masing tokoh sudah secara jelas menggambarkan siapa mereka sesungguhnya.



Ulasan Tokoh-tokoh

1). Juru Kunci
Pada bab I merupakan pembuka dari seluruh rangkaian cerita. Oleh karena itu pada bab ini diperkenalkan nama sekaligus seting dari cerita ini. Nama yang pertama kali diperkenalkan adalah Juru Kunci. Juru Kunci memiliki makna bahwa orang yang ditunjuk sebagai Juru Kunci memiliki keistimewaan tertentu. Keistimewaan yang dimiliki diantaranya adalah orang sederhana. Orang yang memiliki dedikasi tinggi terhadap suatu pekerjaan/ kelompok. Dia tidak mengharapkan imbalan materi yang berlebih karena biasanya seorang juru kunci tidak mendapatkan materi yang berlebih dari apa yang dikerjakan. Justru sebaliknya ia mengabdikan diri agar apa yang dilakukan dibalas oleh yang “maha kuasa”. Meskipun yang “maha kuasa” ini masih belum jelas. Dalam arti bahwa kadang seorang juru kunci lebih patuh kepada arwah leluhur atau raja mereka dari pada Tuhan yang telah menciptakan mereka.
Hal seperti ini dapat kita lihat dalam kontek para Juru Kunci yang ada di wilayah Yogyakarta. Di wilayah ini para Juru Kunci sangat meyakini dan mematuhi raja-raja mereka. Meskipun raja mereka sudah meninggal. Seperti juru kunci makam raja-raja, juru kunci gunung merapi misalnya, sampai saat ini bahkan masih tunduk dan patuh pada perintah raja sultan Hamangku Bowono (HB) yang ke 9, ketimbang pada raja HB yang ke 10 yang jelas-jelas masih hidup. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh raja terhadap pemahaman para juru kunci ini sangat kuat meskipun para raja tersebut sudah tidak ada lagi.
Juru Kunci memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu wilayah tertentu. Selain menjaga ketertiban yang ada di wilayah itu, ia memiliki pengetahuan yang luas dari seluk-beluk daerah/benda tertentu. Bukan hanya deskripsi nyata dari apa yang ada pada saat ini, tetapi juga sejarah secara langsung maupun tidak langsung dari daerah yang dikuasai tersebut. Dalam kontek drama Topeng Kayu ini, kedudukan Juru Kunci diibaratkan sebagai seorang kiayai. Dimana kata-kata dan tindakannya dipercaya dan dipatuhi oleh tokoh-tokoh lain. Bahkan bisa diinterpretasikan bahwa Juru Kunci inilah yang sampai akhir cerita drama ini menyelamatkan para tokoh pelancong. Dimana, tokoh-tokoh lain itu diibaratkan manusia pada umunya. Dengan demikian, kehidupan sesunguhnya adalah sebuah perjalanan. Perjalanan untuk menemukan yang Hakiki. Oleh karaena itu tokoh Para Pelancong merupakan simbol perjalanan hidup manusia pada umumnya.


Juru Kunci:
Pertama-tama mari kita bersyukur. Karena sampi detik ini, jam in, ini, ini. Kita masih diperkenankan bernafas. Bernafaslah! (Terdengar orang menarik nafas) Itulah hakekat hidup! Nah. Bernafas ialah menghirup udara segar. Manusia, binatang, pohon-pohon semuanya bernafas. Setelah udara masuk ke paru-paru, udara dilarutkan oleh darah. Ada zat asam yang perlu untuk pembakaran. Oleh karena itulah tubuh kita panas. Dan kita menjadi sehat. Kesehatan itu syarat mutlak bagi kehidupan. Kehidupan itu suatu teka-teki. Teka-teki itu sulit dicari jawaban. Jawaban itu hanya ada di sini. Di sini tersimpan kuncinya. Kuncinya terpendam, bukan di tanah bukan dilangit. Tetapi di manakah? (Topeng Kayu, p. 6).


2). Para Pelancong
Para pelancong merupakan asosiasi manusia pada umumnya. Sebenarnya tokoh ini menggambarkan manusia yang haus akan kedamaian dan kebebasan. Manusia yang digambarkan melalui tokoh pelancong ini digambarkan berada dalam kegelisahan dan keputusasaan. Mereka mengejar-ngejar kebahagiaan dengan berbagai atribut yang ada di dunia ini tetapi setelah mereka mendapat apa yang diharapkan, semuanya tidak mendatangkan kebahagiaan apa-apa. Justru sebaliknya, mereka semakin haus dan semakin bingung dengan kekuasaan atau makna kebahagiaan yang sesungguhnya.
Tokoh para pelancong yang disebutkan sampai beberapa pelancong mengindikasikan adanya kesamaan sifat-sifat tokoh ini dengan manusia pada umumnya. Melihat dari alur ceritanya tokoh ini berada dalam keadaan kebingungan mengenai kehidupan. Sebagaimana seseorang yang dalam perjalan, dimana diperlukan wawasan, bekal dan kedamaian dalam batin mereka. Dengan bekal dan wawasan yang cukup mereka tidak akan mendapat kegelisahan. Sebagaimana halnya dengan para pelancong, jika wawasan mereka akan tujuan dan bekal mereka cukup maka mereka tidak akan merasa wawas dengan keberadaan mereka sendiri. hidup yang tidak siap dengan bekal keimanan akan makna hidup akan mengalami keguncangan dan kebingungan sebagaimana yang digambarkan dalam tokoh Para Pelancong dalam drama ini.

3). Laki-laki Tua
Tokoh laki-laki tua adalah gambaran mengenai orang yang sudah berpengalaman dalam kehidupan. Orang yang sudah berpengalaman tidak akan tersesat, tidak akan merasa wawas atau bingung dengan berbagai kondisi yan dihadapi. Ibarat pohon orang tua sudah memiliki akar yang kuat dan dalam sehingga tidak mudah digoyahkan oleh angin yang kencang atau pun cobaan lain yang datang menerpa.
Namun demikian orang tua bukan jaminan atas keteguhan prinsip yang dimiliki. Orang tua bisa juga goyah dengan godaan-godaan yang bersifat duniawi. Seperti yang diceritakan dalam drama ini orang tua yang tadinya bijaksana kata-katanya penuh wibaya. Tetapi masih juga bisa dirayu oleh pelacur sehingga ia terjerumus kedalam keputus asaan.

Laki-laki tua:
Lho! Saya datang bukan untuk berhibur. Tetapi mencari kebijaksanaan. Orang-orang tua yang segera dikubur tidak lagi suka hiburan. Yang diperlukanny ialah kesempuranaan. Hidup itu hanya sebentar. Sedangkan mati itu abadi. Yang penting ialah kesempuranaan mati. Apakah mati yang sempuna itu? ketahilah, Nona. Ada tidak macam kematian. Ialah yang konyol, yang sedang-sedang saja, dan yang tinggi mutunya. (Topeng Kayu; 35)

4). Topeng Kayu
Tokoh ini merupakan tokoh yang menengahi perselisihan antara Juru Kunci dengan tokoh antagonisnya. Sebagaimana dikisahkan bahwa kehadiran Topeng Kayu ini memberi solusi atas persoalan yang dihadapi oleh tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Para tokoh dalam drama ini mempercayai apa yang diucapkan oleh tokoh Topeng Kayu tersebut.
Tokoh Topeng Kayu merupakan representasi dari sifat baik manusia. Sesungguhnya setiap diri manusia itu memiliki nilai-nilai atau hasrat kebaikan. Namun demikian, tidak semua hasrat kebaikan itu bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Karena seringnya manusia memperturutkan hawa nafsunya. Dengan demikian manusia sering lalai atau lupa terhadap makna dari tujuan hidupnya.
Nafsu-nafsu yang menggelincirkan manusia kelembah kesengsaraan diantaranya adalah keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan materi duniawi. Padahal hal itulah justru yang sering menjerumuskan manusia dalam ketidak pastian. Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah apa yang terdapat dalam dirinya. Kesabaran dan ketabahan serta kemauannya untuk instrospeksi akan mendatangkan kebahagiaan bagi setiap orang. Kebahagiaan tidak dapat didatangkan dengan mendatangi hiburan atau berekreasi, tetapi menggali dan meresapi dengan hati yang tulus akan mendatangkan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Memperturutkan nafsu hewaniyah merupakan sumber petaka bagi kehidupan. Meskipun nafsu merupakan anugrah tertinggi manusia, tetapi karena nafsu yang tidak dikendalikan manusia sering mengalami kehancuran. Karena nafsu juga manusia menjadi terasing. Manusia yang tidak bisa memperturutkan hawa nafsunya sering merasa frustasi dengan kehidupannya. Sebagaimana yang diucapkan oleh tokoh berikut ini.

Laki-Laki Tua:
Inilah nasib kita. Dimana-mana kita terasing. Di sana kita merasa asing dan menginginkan dunia yang lain. Di sini, kita terasing dan menginginkan dunia yang lain lagi. Kita selalu terasing!

Pernyataan ini menunjuk bahwa kebanyakan manusia di muka bumi ini memperturukan hawa nafsunya. Bagi manusia yang demikian, maka dirinya akan semakin terasing. Karena ia akan menghadapi suatu kenyataan yang tidak pernah sesuai dengan harapannya yang diinginginkannya. Manusia yang seperti inilah yang dimaksudkan dalam drama ini.

C. PENUTUP
Setelah menganalisis drama ini, dapat disimpulkan bahwa drama ini merupakan drama yang mengisahkan perjalanan batin manusia. Dalam usaha mendapatkan kebahagiaan, manusia sering berorientasi pada materi duniawi. Materi duniawi bisa berupa kekuasaan; baik kekuasaan atas harta, wanita dan pengakuan.
Musuh utama bagi manusia sesungguhnya adalah dirinya sendiri. manusia sering kalah dengan dirinya, dengan hawa nafsunya. Oleh karena itu yang perlu disadari oleh setiap manusia adalah bagaimana mengendalikan diri. Jika manusia ingin mendapat kebahagiaan, sesungguhnya kebahagiaan itu ada dalam hati mereka sendiri.
Manusia yang selamat adalah manusia yang menyadari akan tujuan hakiki dari kehidupannya. Karena ia tidak akan tergantung pada materi duniawi yang sangat semu. Ia akan menerima dan menjalani segala proses kehidupan. Apapun yang terjadi dalam kehidupan adalah sebuah proses mencapai yang hakiki tersebut. Dengan demikian orang yang menyadari posisisnya sebagai hamba akan mampu menempatkan diri sekaligus mensyukuri nikmat yang diterimanya meskiipun tidak harus bergelimang harta ataupun kedudukan. Hanya dengan demikianlah kebahagiaan akan didapatkan oleh manusia. Wallahua’lam bish shawab.





















DAFTAR PUSTAKA


Stanton, Robert, 1965, An Introduction to Fiction, Holt, Rinehart and Winston, Inc., United State Of America.
Kenney, William, 1966, How To Analyze Fiction, Monarch Press, United State of America.
Kuntowijoyo, 2001, Topeng Kayu, Bentang, Yogyakarta.
Waluyo, Herman, J., 2001, Drama Teori dan Pengajarannya, Hanindita, Yogyakarta.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar