Selasa, 05 Mei 2009

ARCA GANESYA DAN STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS

tittle

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi penghargaan kepada Prof. Edi Sedyawati, yaitu seorang tokoh ilmuan di bidang arkeologi. Prof. Edi Setyawati, selain dikenal sebagai seorang tokoh arkeologi, juga memiliki keahlian lain dibidang seni. Ia dikenal sebagai seorang penari jawa yang luwes, juga sebagai seorang pengamat kesenian jawa yang tajam.

Karena dalam rangka mengenang tokoh tersebut, tulisan ini ingin mengupas persoalan arkeologi dengan pisau Strukturalisme Levi-Strauss. Menurut penulis makalah ini, Strukturalisme Levi-Struass akan mampu mengungkap makna yang sangat penting dari tanda-tanda yang terdapat pada artefak arkeologis. Karena masih sangat minimnya kajian-kajian mengenai simbol-simbol yang terdapat dalam benda-benda arkeologis, pendekatan ini akan memberikan perspektif baru dalam telaah benda-benda arkeologis.
Ada beberapa alasan mengenai digunakannya teori Strukturalisme Levi-Strauss dalam kontek arkeologi: Pertama adanya keinginan untuk menerapkan analisis struktural pada sebuah karya seni, selain sastra, mitos, dan topeng dan lain-lain. Kedua, Strukturalisme Levi-Strauss yang sudah terkenal di Barat, ternyata belum banyak dikenal oleh ilmuan sosial budaya di Indonesia. Ketiga, teori Strukturalisme Levi-Strauss dianggap cocok dengan kondisi dunia penelitian arkeologi di Indonesia.

STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS
Strukturalisme Levi-strauss bertolak pada asumsi bahwa manusia merupakan makhluk yang dapat berkomunikasi dengan menggunakan berbagai macam tanda dan simbol, sehingga disebut dengan Animal Symbolicum (Cassirer; 1940). Artinya meskipun manusia secara biologis sama dengan hewan, namun secara kualitatif berbeda dari hewan. Perbedaan pokoknya terdapat pada kemampuannya melakukan simbolisasi. Singkatnya manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan dan mengembangkan pemaknaan atas berbagai wahana komunikasi guna menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada manusia lain.
Berdasarkan pada persepsi di atas, seluruh aktivitas yang dilakukan oleh manusia merupakan ekpresi yang mengandung simbol-simbol yang dapat diambil maknanya oleh manusia lain. Karena pada dasarnya setiap tindakan baik yang ditujukan untuk sandang, pangan dan papan tidak lain adalah fenomena komunikasi, karena menggunakan tanda dan simbol.
Fenomena kebudayaan dapat dianggap sebagai sistem atau rangkaian tanda dan simbol yang memiliki ”makna” atau lebih tepat diberi makna. Oleh karena itu model yang digunakan dalam kontek ini adalah model fonologi struktural yang dikembangkan oleh Roman jakobson. Dimana simbol dan tanda dibedakan, tanda teretak pada korelasinya, makna tidak memiliki makna referensial atau makna acuan. Sedangkan simbol memiliki acuan, dengan kata lain makna dari simbol adalah apa yang diacunya.
Satuan terkecil dalam linguistik adalah fonem, yaitu satuan bunyi yang tidak mengandung arti, namun dapat menyebabkan adanya perbedaan arti suatu kata dari kata yang lain. Contohnya adalah penulisan kata t dan th. Fonem t yang terdapat dalam kata kutuk memiliki makna sejenis ikan sungai, sedangkan th yang terdapat pada kata kuthuk memiliki makna ”anak ayam”. Disini dapat dilihat bahwa perbedaan fonem meskipun diikuti dengan fonem yang sama dapat menimbulkan perbedaan arti.
Strukturalisme mengambil model analisis struktural yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (1966). Dimana pesan-pesan yang disampaikan manusia melalui simbol-simbol itu dianggap mengikuti aturan-aturan yang ada dan bersifat sosial. Sistem sosial inilah yang disebut dengan tata bahasa. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan tata bahasa disini tidak harus berupa kalimat, tetapi segala pesan yang terekpresikan dalam berbagai bentuk simbol baik berupa gambar, gerak, bunyi-bunyian, dan lain sebagainya.
Menurut de Saussure, bahasa memiliki dua aspek, yakni aspek langue (bahasa) dan aspek parole (tuturan atau ujaran). Langue merupakan aspek sosial dari bahasa. Langue inilah yang memungkinkan terjadinya kemunikasi simbolik manusia lewat bahasa. Berbeda dengan parole yang bersifat individual. Parole seseorang berbeda dengan orang lain. Oleh karena itu setiap orang akan memiliki corak yang bermacam-macam meskipun bahasa yang mereka pergunakan sama.
Asosiasi tersebut di atas juga berlaku pada penggunaan tanda-tanda lain yang berupa mitos, musik, dan kesenian tertentu. Dipandang dari sudut pandang itu juga arkeologi dapat memanfaatkan pendekatan seperti yang sudah disebutkan di atas. Jadi artefak-artefak atau materi kebudayaan lama itu bukan sekedar diciptakan untuk tujuan ekonomis, tetapi merupakan suatu simbol dan sistem tanda. Melalui benda-benda tinggalan tersebut dapat diungkap ide-ide, pandangan mereka, yang semuanya merupakan pesan yang bersifat sosial ataupun individual. Oleh karena itu pula benda-benda arkeologis dapat juga dianalisis seperti yang dilakukan oleh para ahli bahasa.
Analisis simbolis ditujukan untuk menyingkapkan makna dari berbagai macam simbol, yang bersifat disadari, sedangkan analisis semiotis dimaksudkan untuk mengungkapkan makna yang ada di balik benda-benda kebudayaan yang sering bersifat nirsadar atau tidak disadari. Karena itulah diperlukan suatu metode penempatan secara sintagmatis dan paradigmatis. Untuk memudahkan pemahaman makna sintakmatis dan paradigmatis dapat dilihat pada contoh berikut ini. Dalam kaliamat ”Penduduk desa itu seribu jiwa”. Kata desa memiliki hubungan sintagmatis dengan kata jiwa. Namun kata itu juga memiliki hubungan paradigmatis dengan kata lain seperti kampung, nagari, dusun, kota. Sedangkan kata jiwa berada dalam rantai paradigmatis dengan kata roh, nyawa, manusia, orang, ingatan dan seterusnya. Kontek sintagmatis menentukan kata mana yang dipakai dalam sebuah kalimat.
Dengan memanfaatkan model yang digunakan di atas, penelitian benda-benda arkeologis dapat mengungkap bukan hanya makna simbol-simbol, tetapi juga mengungkap makna ”tata bahasa” yang ada dalam proses penciptaan benda-benda simbolis itu sendiri. Ketentuan–ketentuan yang mengatur proses penggabungan berbagai macam tanda dan ciri simbolis yang bersifat tidak disadari, menyampaikan pesan-pesan yang abstrak melalui berbagai macam tanda dan simbol yang lebih kongkrit. ***

STRUKTUR DAN TRANSFORMASI
Struktur merupakan model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala atau peristiwa kebudyaan yang ditelaahnya. Dalam hal ini struktur dibedakan menjadi dua; yaitu struktur luar (Surface structure) dan struktur dalam (Deep structure). Struktur luar adalah susunan unsur-unsur yang dapat kita buat atau bangun atas dasar ciri-ciri luar atau empiris dari unsur-unsur tersebut. Sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan struktur luar yang berhasil kita buat, yang tidak selalu tampak pada sisi luar. Struktur dalam dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil ditemukan dan dibangun. Struktur dalam inilah yang dalam sturturalisme disebut dengan model.
Selain struktur tersebut di atas, pendekatan strukturalisme tidak bisa lepas dengan konsep transformasi. Transformasi memiliki makna perubahan yang bermakna alih rupa atau dalam bahasa jawa malih. Yaitu sutau perubahan yang terjadi pada tataran permukaan saja, sedangkan pada permukaan yang paling dalam tidak terjadi perubahan. Contoh transformasi terdapat dalam variasi kalimat berikut ini;
1). Saya akan pergi ke kota
2). Aku arep lunga menyang negara
3). Kulo ajeng kesah teng negara
4). Dalem badhe tindak dateng negari
5). I will go to the city

Makna dari kelima kalimat di atas memiliki kesamaan, hanya saja bahasa yang digunakan berbeda. Bahkan meskipun dalam bahasa yang sama bisa menggunakan ungkapan yang berbeda.
Tujuan analisis struktural adalah menemukan struktur dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu analisis struktural tidak membicarakan proses perubahan. Ini tidak berarti bahwa strukturalisme menolak atau anti proses perubahan. Anaisis struktural memang tidak memusatkan perhatiannya pada soal perubahan, tetapi pada soal keberadaan struktur.

ARCA GANESYA JAWA DALAM KAJIAN KONTEKSTUAL DAN STRUKTURAL
Kajian simbolis terhadap Ganesya pernah dilakukan oleh Alice Getty (1971), yang lebih diarahkan pada ciri-ciri ikonografi. Oleh karena itu penelitian tersebut bersifat deskriptif, komparaif juga ditributif. Getty lebih memperhatikan pada persamaan dan perbedaan ciri-ciri ikonografis berbagai macam arca Ganesya. Metode ini nampaknya tidak efektif karena kita akan semakin kesulitan dengan semakin banyaknya simbol-simbol yang terdapat pada masing-masing arca tersebut.

Analisis Edi Styawati atas Arca Ganesya: Analisis Kontektual
Analisis yang dilakukan oleh Edi Sedyawati mencoba mengabstraksikan variasi detail dari arca Ganesya. Pola-pola yang ditemukan dihubungkan dengan konteks sosial politik masyarakat yang menciptakan arca Ganesya tersebut. Ia mampu menceritakan detail dari ciri-ciri ikonografis arca Ganesya yang rumit, tanpa melupakan tataran pola dari ciri-ciri tersebut, yang berkaitan dengan pola lain yang ada di luar konstelasi ciri ikonografis arca Ganesya itu sendiri.
Kajian yang dilakukan olehnya mengambil arca yang dibuat pada masa Kadiri dan Singasari (1994), yang merupakan kajian kontektual. Kajian pengarcaan tokoh Ganesya ini dengan jelas mencoba memahami perbedaan arca-arca Ganesya yang berasal dari masa kerajaan yang berbeda yaitu Kadiri dan Singasari. Selain itu kajian yang dilakukan oleh Prof. Edi Sedyawati juga berkaitan dengan persebaran pengaruh yang ada pada arca Ganesya yang terdapat di daerah lain. Dalam kesimpulannya ia menyatakan bahwa masa Singasari merupakan masa kejaan pengarcaan Ganesya di Jawa.
Menurut penulis makalah ini masih ada kelemahan dari apa yang telah dilakukan dalam penelitian ini. Kelemahan tersebut terdapat pada ketidaktepatan pada pendekatan yang digunakan. Walhasil, apa yang dihasilkan dari penelitian tersebut sekedar membuahkan hipotesis, bukan rumusan hubungan fungsional antar fenomena yang lebih pasti.
Ibu Edi lebih tertarik pada fungsi fenomena yang ditelitinya, yakni pengarcaan Ganesya. Analisis fungsionalnya banyak mengandung kelemahan yang tetap sulit diatasi meskipun beberapa asumsi dasarnya telah diubah agar lebih sesuai dengan hasil yang ingin dicapai dan metode peneitian yang digunakan.

ANALISIS STRUKTURAL ARCA GANESYA JAWA: SEBUAH UJI COBA
Kajian ini mencoba menganalisis benda-benda arkeologis dengan model struktur linguistik. Analisis juga dimulai dari unit yan terkecil, dalam bahasa yang disebut dengan fonem, sedangkan dalam benda (artefak) arkeologis komponen terkecilnya desebut dengan bentuk atau style. Tetapi jika analisis ditekankan pada motif, maka bentuk terkecil bisa berupa garis-garis. Bentuk berupa variasi garis dan kombinasinya. Variasi garis, dari garis lurus dan lengkung menghasilkan corak yang berbeda-beda dari masing-masing orang dan itulah yang disebut dengan gaya.
Bentuk atau pola yang ada dalam suatu artefak diyakini akan berulang pada pembentukan benda-benda arkeologis yang lain. Dalam arti bahwa suatu bentuk akan merupakan pola-ola yang sudah dibentuk pada awalnya dan hal itu berarti langue dari artefak-artefak tersebut. Pada saat yang sama kita juga akan dapat melihat berbagai macam rantai sintagmatis benda-benda arkeologis, yang merupakan perwudjudan dari suatu struktur tertentu, yang berada pada tingkat yang tidak disadari oleh masyarakat pengghasil benda-benda arkeologis itu sendiri. Rangkaian rantai sintagmatis arkeologis ini dapat kita pahami sebagai suatu rangkaian transformasi.
Langkah awal yang bisa dilakukan dalam menganalisis arca Ganesya adalah dengan penggolongan ciri-ciri ikonografi Ganesya. Ada dua ciri ikonografi yaitu; 1). Ciri ikonografik umum, dan 2). Ciri ikonografik khusus. Ciri pertama “yang menandai identitas arca Ganesya yang mana pun”. Artinya untuk dapat dikatakan sebagai arca Ganesya, arca tersebut harus memiliki ciri-ciri tersebut. Ciri-ciri umum Ganesya digunakan sebagai kriteria awal untuk memilih satuan-satuan pengamatan”. Tanda-tanda umum diataranya adalah a). Kepala gajah berbelalai, b). Badan manusia, c). Kaki berbentuk kaki manusia tetapi sangat tambun.
Ciri kedua adalah ciri khusus yang “memperkuat penandaan atas Ganesya berdasarkan atas mitos-mitos yang beredar, yang pemiliknya dapat bervarisasi dari arca ke arca” dan tanda-tanda inkonografi khusus Ganesya ini meliputi sejumlah laksana, di antaranya adalah 1). Badan gemuk, 2). Perut buncit, 3). Mata ketiga, 4). Taring patah sebelah, 5). Benda-benda tertetu yang dipegang tangannya, 6). Upawita ular, 7). Tengkorak, dan 8). Bulan sabit atau salah satu dari yang dua itu sebagai hiasan mahkota, 9). Asana yang berupa deretan tengkorak, ditambah dengan 10). Tangan dan lengan yang berjumlah empat, mekipun tanda yang terakhir ini lebih merupakan tanda dari arca dewa pada umumnya daripada tanda Ganesya (Sedyawati; 1994: 75). Tanda-tanda tersebut di atas tidak semuanya ada pada arca Ganesya, namun yang akan dianalisis dengan metode strukturalisme berpijak pada tanda-tanda tersebut.
Sebenarnya pada penelitian yang di lakukan oleh ibu Edi sudah mendekati penggunaan seperti yang ada dalam strukturalisme. Seperti dapat terlihat pada korelasi yang digunakan antara “perut tak buncit” dan “badan tak gemuk”. Namun demikian deskripsi dari korelasi tersebut belum menemukan beberapa koralasi yang diharapkan seperti dalam model strukturalisme.
Ada empat kombinasi yang dianalisis berkenaan dengan arca Ganesya; yaitu 1) mata ketiga, 2) upawita ular, 3) hiasan mahkota: tengkorak bulan sabit, dan 4) asana tengkorak. Sebenarnya masih banyak ciri-ciri atau pola lain yang terdapat pada arca Ganesya, namun peneliti tidak memberi alasan mengapa hanya empat yang dijadikan rujukan dalam deskripsi tersebut. Yang jelas keempat ciri ini merupakan lambang kesiwaan. Karena berfungsi membedakan, ciri-ciri khusus ini dapat dikatakan sebagai distinctive featurenya. Pada tanda-tanda ini terdapat berbagai kombinasi yang berganti-ganti (bertransformasi), yang memperlihatkan logika tertentu atau mengandung makna simbolis tertentu. Ciri-ciri khusus ini menggambarkan pula fungsi-fungsi sintagmatis dan fungsi paradigmatis sebagaimana yang terdapat dalam fonem bahasa.
Dari keempat pola tersebut di atas akan menghasilkan kombinasi yang berbeda-beda tergantung dari mana kita memfokuskan perhatian kita. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut tentunya memiliki makna tertentu.disinilah terbuka kesempatan bagi peneliti untuk mengungkap pesan-pesan yang terdapat dalam variasi-variasi atau perbedaan tersebut. Dari perbedaan-perbedaan tersebut juga akan ditemukan informasi tentang logika atau pola pemikiran yang ada di balik pembuatan arca Ganesya atau ‘tata bahasa’ pengarcaan tokoh Ganesya di Jawa.
Selain akan menemukan logika yang digunakan dalam variasi-variasi pola, kemungkinan juga akan ditemukan korelasi tertentu seperti misalnya kontek keagamaan. Kemungkinan adanya perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan hidup, sekte, ataupun ritual tertentu. Inilah salah satu manfaat dari pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss jika digunakkan dalam menganalisis benda-benda arkeologis.

Kesimpulan
Untuk bisa menerima pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss sebagai bagian dari pendekatan dalam bidang arkeologi, harus dipahami asumsi dasarnya bahwa situs arkeologis tersebut pada dasarnya merupakan serangkaian tanda atau simbol yang digunakan untuk menyampaikan pesan tertentu. Dengan metode pendekatan Strukturalisme Levi-Straus akan dapat melihat sesuatu yang sebelumnya tidak terlihat. Yang berarti bahwa melalui pendekatan struktural potensi benda-benda budaya arkeologis kiranya dapat kita tingkatkan, dengan memberi penafsiran yang menghasilkan makna baru. Dengan demikian model ini akan memperkaya khazanah pengetahuan dan pemaknaan kita terhadap benda-benda arkeologis tersebut.
Model ini juga memungkinkan kita menjelaskan fenomena budaya yang terdapat dalam artefak arkeologis dengan membandingkan persamaan dan perbedaan melalui tafsir yang terdapat dalam benda-benda tersebut. Sehingga apa yang terdapat dalam benda-benda arkeologis dapat dijelaskan secara sistematis. Karena kita akan mengetahui transformasi yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat lampau serta perkembangannya sampai masa kini. Dan hal ini tidak akan ditemukan dalam paradigma antropologi yang lain.
Tulisan ini telah membuka cakrawala pemahaman kita akan berbagai kemungkinan-kemungkinan keterkaitan atau hubungan yang begitu luas terhadap sebuah paradigma. Persoalan bahasa ternyata bukan hanya sebatas pada pemahaman struktur kalimat saja, namun berkaitan juga dengan berbagai hasil budaya yang secara langsung berkaitan dengan pemahaman masyarakat penganut kebudayaan tersebut. Dalam kaitannya dengan benda-benda arkeologis, kita menjadi sadar bahwa apa yang dibuat oleh manusia meskipun tidak berupa tulisan, namun benda peninggalan berbentuk apapun dapat ditafsirkan sebagai sebuah pesan akan masyarakat tersebut, baik dari kepercayaan, kebiasaan dan berbagai aspek kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar