Selasa, 31 Maret 2009

Moralitas Bagian Esensial

Moralitas Bagian Esensial

MEROSOTNYA suatu bangsa harus diakui lantaran bobroknya mentalitas serta moralitas komponen yang ada di dalamnya, seperti pejabat, penegak hukum, pengusaha, dan masyarakat. Oleh karena itulah, Acarya Shambhushivananda Avadhuta, seorang acarya (guru) dari India, menekankan moralitas sebagai bagian yang esensial dari pembinaan mental perlu ditanamkan sejak usia dini.

Mengutip pendapat Shrii PR Sarkar, sampai pada umur lima tahun, anak-anak membentuk pandangan kepribadian moralnya. Pengembangan etika meliputi banyak aspek, pengembangan sosial termasuk belajar saling memberi perhatian kepada orang lain, memupuk perasaan pengabdian, melayani makhluk lain dan belajar bagaimana menjadi orang yang lebih baik secara internal.

Para pendidik neohumanis, katanya, mengembangkan dan menjadi model sepuluh konsep etika moral yang universal. Sepuluh etika moral ini dibagi menjadi dua kelompok, yakni kontrol dalam hubungannya dengan objek atau kehidupan lain yang bersifat eksternal, seperti Panca Yama Beratha dan Panca Niyama Beratha.

Panca Yama Beratha: Ahimsa (tidak menyakiti), yakni tak menyakiti pihak lain secara sengaja baik dengan pikiran, perkataan maupun perbuatan; Satya (kebenaran yang mengandung kebajikan), berbicara dengan landasan untuk kesejahteraan orang lain; Asteya (tidak mencuri) yakni tidak mengambil dan tak berniat memiliki apa yang menjadi hak orang lain tanpa permisi; Brahmacarya (cinta kasih universal), dengan melihat dan mencintai kesadaran yang tak terbatas (Tuhan) dalam tiap perwujudan di sekeliling kita; dan Aparigraha (hidup sederhana), yakni dengan memetik hikmah hidup sederhana dan tak menumpuk kekayaan berlebihan.

Panca Niyama Beratha: Shaoca yakni menjaga kebersihan fisik dan mental; Santhosa, kedamaian, kesentosaan mental dengan menjaga pandangan positif; Tapah, memberikan pelayanan atau semangat pengabdian, mengembangkan semangat kebiasaan menolong kepada mereka yang memerlukan; Swadyaya, mengembangkan kegiatan belajar untuk mendapatkan inspirasi positif, mengembangkan kebiasaan membaca secara teratur, mendengarkan atau mendiskusikan hal-hal spiritual; dan Ishvara Pranidharna, pengembangan diri ke dalam introspeksi diri dan meditasi.

Di sekolah-sekolah neohumanis, kata Sambhushivanandha, pembinaan secara wajar dari prinsip-prinsip ini diterapkan kepada para murid melalui model (contoh) peran yang baik dan penghayatan secara intuitif dari guru. Pengajaran melalui cerita, permainan, lagu-lagu dan drama untuk anak-anak yang lebih tua juga melalui dilema moral dan permainan peran. Sementara penggunaan bahasa positif dan permainan peran membantu anak membangun disiplin kreativitas, serta penerapan tingkah laku yang positif. Di sekolah neohumanis, pembentukan karakter merupakan bagian penting dari pengembangan sosial dan spiritual anak didik. ''Praktik prinsip-prinsip etika universal merupakan bagian esensial dari proses pendidikan neohumanis.'' http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2000/12/14/F4.htm * Gde Budana

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI MELALUI PENDEKATAN

Rohmy Husniah-Yudhi Arifani ,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / hiski halaman 1 dari 12
Batu, 12-14 Agustus 2008
PENDIDIKAN BUDI PEKERTI MELALUI PENDEKATAN
MORAL DALAM PENGAJARAN SASTRA
Rohmy Husniah
Yudhi Arifani
Abstrak
Salah satu tujuan penyelenggraan pendidikan ialah untuk membentuk sikap
moral dan watak murid yang berbudi luhur. Oleh sebab itu diperlukan pendekatan
pendidikan dan mata pelajaran yang membantu membentuk kepribadian murid
menjadi kepribadian yang lebih baik dan bermoral.

Saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Jika
demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan pendidikan Indonesia
sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis, kurang toleran dalam
menghadapi perbedaan, dan korup. Selain pengajaran agama, salah satu pelajaran
yang mengajarkan budi pekerti ialah sastra.
Membaca sastra berarti mengenal berbagai karakter yang sebagian besar
merupakan refleksi dari realitas kehidupan. Dengan demikian, pembaca akan
memahami motif yang dilakukan setiap karakter baik yang protagonis maupun yang
antagonis sehingga pembaca dapat memahami alasan pelaku dalam setiap
perbuatannya.
Demikian pentingnya pengajaran sastra untuk membentuk moral yang berbudi
mulia maka Putu Wijaya menyatakan bahwa sastra harus dibelajarkan kepada semua
jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat
menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa (Wijaya, Putu. 2007).
Agar tujuan pembelajaran sastra tercapai maka diperlukan metode dan
pendekatan yang tepat untuk menyampaikannya dengan baik. Dalam makalah ini
akan diuraikan tentang bagaimana mengajar sastra dengan menggunakan pendekatan
moral karena pada hakikatnya membaca sastra ialah untuk mencapai katarsis, suatu
perasaan yang tenang dan lega, karena pembaca telah menemukan hakikat hidup dan
pesan moral dalam suatu karya sastra.
Key words: budi pekerti, moral, pendekatan moral, pengajaran sastra

1. Pendahuluan
Salah satu tujuan penyelenggraan pendidikan ialah untuk membentuk sikap
moral dan watak murid yang berbudi luhur. Dahulu para murid diberikan pelajaran
Budi Pekerti untuk mencapai tujuan tersebut. Namun sekarang pelajaran itu telah
ditiadakan karena pelajaran tersebut mungkin tidak banyak merubah kepribadian
murid menjadi kepribadian yang lebih baik dan bermoral.
Indonesia memiliki Pancasila dan nilai-nilai budaya yang luhur dan
menjunjung tinggi kerukunan dan tenggangrasa. Akan tetapi, di pihak lain Indonesia
juga merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia, dan
tingkat kerusuhan yang juga tinggi. Bangsa lain memandang Indonesia menjadi
negara yang tidak lagi aman untuk dikunjungi sehingga Indonesia pernah menjadi
negara yang dilarang untuk dikunjungi oleh salah satu negara besar di dunia. Negara
tersebut mengeluarkan travel warning bagi warga negaranya yang akan berkunjung ke
Indonesia.
Salah satu cara membentuk watak dan pribadi bangsa ialah dengan melalui
pendidikan. Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan
pendidikan Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis dan
korup. Selain pengajaran agama, salah satu pelajaran yang mengajarkan budi pekerti
ialah sastra.
Sastra menurut etimologinya adalah tulisan. Sedangkan kesusastraan
adalah segala tulisan yang indah.
Sastra dalam pemahaman saya, adalah segala bentuk ekspresi
dengan memakai bahasa sebagai basisnya....Bukan hanya apa yang
tertulis, apa yang tidak tertulis pun bisa masuk dalam sastra. Tidak
hanya yang su (indah), catatan-catatan, surat-surat, renungan, beritaberita,
apalagi cerita dan puisi, anekdot, graffiti, bahkan pidato, doa dan
pernyataan-pernyataan, apabila semuanya mengandung ekspresi, itu
adalah sastra. Wijaya (2007)
Dengan demikian maka sastra meliputi banyak hal. Sastra, menurut Putu Wijaya,
bukan hanya tulisan yang indah saja seperti yang terdapat dalam puisi, prosa, dan
drama, tetapi juga semua bentuk ekspresi yang menggunakan bahasa sebagai
medianya. Sedangkan dalam pengajaran yang lebih ditekankan ialah pengajaran sastra
dalam bentuk puisi, prosa, dan drama. Hal ini untuk membatasi lingkup materi,
namun tidak memungkinkan adanya peluang untuk mengajarkan sastra dalam bentuk
yang lainnya.
Sarjono (1998) mengatakan bahwa sastra dalam banyak hal memberi peluang
kepada pembaca untuk mengalami posisi orang lain, sebuah kegiatan berempati
kepada nasib dan situasi manusia lain. Membaca sastra berarti mengenal berbagai
karakter yang sebagian besar merupakan refleksi dari realitas kehidupan. Dengan
demikian, pembaca akan memahami motif yang dilakukan setiap karakter baik yang
protagonis maupun yang antagonis sehingga pembaca dapat memahami alasan pelaku
dalam setiap perbuatannya. Bahkan jika karakter tersebut adalah karakter yang tidak
ingin dijumpai oleh pembaca dalam kehidupan nyata karena kejahatannya, maka
dalam fiksi pembaca akan bertemu berbagai karakter sehingga pembaca mampu
memahami motif dan tujuan mereka tanpa resiko yang membahayakan pembaca.
Demikian pentingnya pengajaran sastra untuk membentuk moral yang berbudi
mulia maka Putu Wijaya menyatakan bahwa sastra harus dibelajarkan kepada semua
jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat
menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa (2007).
Namun pengajaran sastra belum banyak diminati baik oleh para murid maupun
mahasiswa. Sastra masih dirasakan sebagai mata pelajaran yang sulit dan kurang
bermanfaat karena banyak berimajinasi. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain
kapasitas pengajar yang tidak berlakang belakang pendidikan sastra sehingga
pengajar kurang memahami hakikat pengakjaran sastra, bahan bacaan sastra terutama
bahan teori sastra dan pengajaran sastra yang masih sangat terbatas, metode dan
teknik pengajaran sastra yang kurang tepat, dan lainnya.
Agar tujuan pembelajaran sastra tercapai maka diperlukan metode dan
pendekatan yang tepat untuk menyampaikannya dengan baik. Terdapat beberapa
pendekatan pengajaran sastra seperti pendekatan moral, estetika dan stilistika, resepsi,
hermeneutik dan lainnya. Pada dasarnya semua pendekatan tersebut adalah baik,
hanya perlu diperhatikan pendekatan mana yang paling dikuasai oleh seorang guru
sastra dan pendekatan mana yang paling sesuai dengan keadaan muridnya. Namun
dalam tulisan ini akan diuraikan tentang bagaimana mengajar sastra dengan
menggunakan pendekatan moral karena pada hakikatnya membaca sastra ialah untuk
mencapai katarsis, suatu perasaan yang tenang dan lega, karena pembaca telah
menemukan hakikat hidup dan pesan moral dalam suatu karya sastra. Oleh sebab itu
terdapat hubungan yang erat antara pengajaran sastra dengan pembentukan moral.
Beberapa penelitian dan penulisan essai tentang pengajaran sastra telah
dilakukan salah satunya oleh Dharmojo (1997) menuliskan essai tentang model
pembelajaran sastra dengan judul Critical Discourse Analysis (CDA) sebagai Model
Pembelajaran Sastra.astra karena beliau merasa prihatin dengan tujuan pendidikan
Indonesia untuk membentuk moral bangsa yang belum tercapai. Esai tersebut
mengungkapkan bahwa berhasil atau tidaknya pengajaran sastra dipengaruhi oleh
beberapa hal: kurikulum, sarana prasarana, minat baca murid, dan iklim bersastra
pada umumnya. Oleh sebab itu, esai tersebut mengenalkan CDA atau analisis wacana
kritis agar para murid diharapkan terbiasa bersikap kritis dan kreatif dalam
menanggapi berbagai fenomena dan makna yang terdapat di dalam karya sastra
sebagai produk budaya bangsa.

Sedangkan untuk penelitian pengajaran sastra dilakukan pada tahun 2007 oleh
Heri Kustomo dengan judul Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi Mahasiswa VIID
SMPN 1 Rengel Kabupaten Tuban dengan Teknik Personifikasi. Dari hasil
penelitiannya, Kustomo menemukan bahwa para murid kelas VIII-D SMPN 1 Rengel
yang pada awalnya tidak begitu menyukai pelajaran menulis puisi, pada akhirnya
setelah diterapkan pendekatan personifikasi, mereka menjadi menyukainya.
Dari hasil kedua penelitian tersebut menunjukan bahwa minat terhadap
pengajaran sastra dapat ditumbuh kembangkan dengan model pengajaran yang
bervariatif dan tepat sehingga minat siswa terhadap sastra menjadi lebih baik. Selain
itu dengan model pengajaran yang tepat sastra tidak hanya mampu meningkatkan
kemampuan berfikir kritis (critical thinking) siswa tetapi dapat menanamkan nilainilai
moral melalui pemahaman makna karya sastra (pesan yang disampaikan
didalamnya). Maka makalah ini mencoba memberikan alternatif bagaimana
mengungkapkan pesan moral melalui cerita pendek dalam pengajaran sastra.

2. Kajian Teori
2.1 Definisi Sastra
Sebelum mendeskripsikan lebih lanjut tentang moral dalam pengajaran sastra,
perlu dijelaskan tentang apa sastra itu. Hal ini dimaksudkan agar pembaca lebih
memahami apa yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. Dengan demikian, pembaca
diharapkan mampu melakukan suatu proses penjelajahan yang meningkatkan bukan
saja kepekaan dan pemahaman tentang karya satra, tetapi juga rasa sayang setelah
mengenal apa itu sastra.
Danziger dan Johnson (dalam Budianta, 2006:7) melihat sastra sebagai suatu
seni bahasa , yakni cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Tidak seperti seni musik dan lukis yang tidak menggunakan media bahasa, maka
keberadaan arti sastra juga ditentukan oleh perkembangan bahasa. Lunturnya bahasa
dengan sendirinya juga mempengaruhi nasib karya sastra. Karya-karya sastra kuno
seperti Odysey, Mahabarata, dan sebagainya sudah tidak lagi hidup sebagai sastra,
akan tetapi sebagai filsafat (Darma, 1984:51-52).

Selain bahasa, pengertian sastra bisa dilihat dari sudut lain seperti yang
dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1995:3) yang berpendapat bahwa sastra
adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. J. Bronowski (dalam Darma,
1984:50) berpendapat bahwa pencapaian manusia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
creation , invention dan discovery . Creation atau kreatifitas adalah pencapaian
dalam dunia seni, invention dan discovery dalam dunia ilmu pengetahuan. Di
antara ketiga pencapaian ini, yang paling murni adalah kreatifitas. Benua Amerika
bisa saja ditemukan oleh orang lain jika pada waktu itu Columbus tidak
menemukannya. Mesin uap bisa juga ditemukan pada waktu yang berbeda dan
penemu pertama yang bukan Thomas Alfa Edison jika saat itu Edison tidak bisa
membaca fenomena yang ada. Akan tetapi, Hamlet akan selalu menjadi milik
Shakespeare dan tidak akan pernah sama dengan Hamlet yang mungkin ditulis oleh
orang lain.

Dengan demikian, sastra merupakan suatu ciptaan dari proses kreatifitas
dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Sastra bersifat unik dan murni karena
tiap individu mempunyai style yang berbeda dalam menuangkan ceritanya.
Keberlangsungan suatu karya sastra juga ditentukan oleh perkembangan bahasa
dimana sastra bisa saja menjadi bentuk lain seperti menjadi filsafat.

2.2 Pendekatan Moral
Sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan
dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia. Karya sastra amat penting bagi
kehidupan rohani manusia. Oleh karena sastra adalah karya seni yang
bertulangpunggung pada cerita, maka mau tidak mau karya sastra dapat membawa
pesan atau imbauan kepada pembaca (Djojosuroto, 2006:80).

Pesan ini dinamakan moral atau amanat . Dengan demikian, sastra
dianggap sebagai sarana pendidikan moral (Darma, 1984:47). Moral sendiri diartikan
sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh
sebagian besar masyarakat tertentu (Semi, 1993:49). Namun kepentingan moral dalam
sastra sering tidak sejalan dengan usaha untuk menciptakan keindahan dalam karya
sastra (Darma, 1984:54). Pengalaman mental yang disampaikan pengarang belum
tentu sejalan dengan kepentingan moral. Menurut Djojosuroto (2006:81), meski moral
yang disampaikan pengarang dalam karya sastra biasanya selalu menampilkan
pengertian yang baik, tetapi jika terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai sikap dan
tingkah laku yang kurang terpuji atau tokoh antagonis, tidak berarti tingkah laku yang
kita ambil harus seperti tokoh tersebut.

Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan bahwa aspek moral
adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan
manusia dilihat dari segi baik buruknya berdasarkan pandangan hidup masyarakat.
Nilai-nilai moralis yang tercantum dalam karya sastra dapat berbentuk tingkah laku
yang sesuai dengan kesusilaan, budi pekerti, dan juga akhlak.

Dalam hubungannya dengan pengajaran, maka dapat dikatakan bahwa
pendekatan moral adalah seperangkat asumsi yang paling berkaitan tentang sastra
dalam hubungannya dengan nilai-nilai moral dan pengajarannya.

2.3 Pengajaran sastra
Mengajar berarti menyampaikan atau menularkan (Riberu, 1991:1).
Pengajaran berarti sastra berarti adanya penyampaian atau penularan ilmu mengenai
suatu ciptaan dari proses kreatifitas dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.
Ciptaan tersebut bisa berupa puisi, prosa maupun drama.

Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya
meliputi empat manfaat, yaitu (1) membantu ketrampilan berbahasa, (2)
meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, serta
(4) menunjang pembentukan watak Rahmanto, dalam Dharmojo (2007).
Pendapat Rahmanto senada dengan pendapat Djojosuroto yang
mengungkapkan bahwa sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran
kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan ketrampilan dalam berbahasa. Sastra
dapat membantu pendidikan secara utuh karena sastra dapat meningkatkan
pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, rasa dan karsa, menunjang pembentukan
watak, mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, pengetahuanpengetahuan
lain dan teknologi (2006:85).

3. Penyampaian Pesan Moral Melalui Cerita Pendek
Dalam tulisan ini diambil sebuah contoh karya sastra dalam bentuk cerita
pendek yang ditulis oleh pengarang besar Rusia, Leo Tolstoy, dengan judul God Sees
the Truth, but Waits (Tuhan Tahu tetapi Menunggu). Penyajian cerita pendek ini
berbeda dengan cerita pendek pada umumnya karena nilai moral cerita ini seolah-olah
kabur karena Tolstoy lebih tertarik pada daya tarik cerpennya daripada
menggambarkan apa yang seharusnya menurut moral terjadi. Cara Tolstoy
meretorikakan tokohnya-Aksionov- ibarat sebuah bola yang digiring ke arah jurang,
sementara yang lain percaya bahwa memang dia harus dibuang disana (penegak
hukum), padahal bukan di sanalah tempat dia (Darma, 1984:60).
God Sees the Truth, but Waits menarasikan tentang seorang saudagar muda
yang kaya raya, tampan dan baik hati dan gemar menyanyi yang bernama Ivan
Dmitrich atau yang biasa disapa dengan Aksenov. Sebelum menikah Aksenov adalah
seorang pecandu minuman dan pemarah, namun semuanya berbeda ketika dia telah
menikah. Suatu hari Aksenov mengatakan pada istrinya kalau dia akan bepergian
untuk keperluan bisnis, namun istrinya melarangnya pergi hari itu karena istrinya
bermimpi bahwa suaminya kembali dari kota dengan rambutnya yang sudah menjadi
uban. Aksenov hanya tertawa mendengar kepercayaan istrinya tentang tafsir mimpi
sehingga ia tetap melanjutkan perjalanan.

Di tengah perjalanan, Aksenov berkenalan dengan saudagar yang lain dan
kemudian mereka memutuskan untuk tinggal dalam satu kamar di suatu penginapan.
Aksenov tidak biasa tidur sore, namun hari itu ia harus melakukannya karena ia
berencana untuk melanjutkan perjalanan pada subuh keesokan harinya.
Semua berjalan seperti semula, Aksenov melanjutkan perjalanan ketika hari
masih gelap. Di tengah perjalanan ia istirahat, dan pada saat itu ia didatangi oleh
polisi yang menanyakan tentang semua yang telah dilakukan Aksenov. Setelah
menjawab semua dengan jujur dan ramah, barulah Aksenov tahu bahwa temannya
yang sekamar dengannya telah digorok lehernya hingga meninggal. Setelah diperiksa,
ternyata pisau pelaku kejahatan ada dalam tas Aksenov.

Istrinya sangat terpukul mendengar penangkapan suaminya. Saat menjenguk
Aksenov, dia merasa sangat sedih melihat istri dan anak-anaknya yang masih sangat
kecil, bahkan yang satu masih menetek ibunya. Pertemuan itu semakin menambah
kesedihan ketika petisinya ditolak oleh kaisar, terlebih ketika istrinya meragukan
apakah benar suaminya tidak bersalah. Putus asa dengan bantuan dan empati manusia,
Aksenov hanya berharap pada bantuan Tuhan. Aksenov dihukum selama 26 tahun
atas kejahatan yang tak pernah dilakukannya, selama itu pula ia hidup sebagai
kriminal di Siberia.

Di penjara, Aksenov membuat sepatu boot, rajin berdoa dan membaca bukubuku,
dan bernyanyi di gereja pada hari Minggu. Para sipir dan kriminal lainnya
menyukai Aksenov karena kelembutannya. Mereka menyebutnya Bapa atau Orang
Suci . Dia sering dimintai pendapat bila terjadi perselisihan yang tak terselesaikan.
Suatu hari datanglah segerombolan penghuni tahanan baru. Salah satunya
berusia 60 dan berasal dari kota yang sama dengan Aksenov. Makar Semenich-nama
penghuni baru tersebut-ternyata adalah pembunuh saudagar teman Aksenov dulu.
Suatu hari Makar berniat kabur dengan membuat lubang bawah tanah dan secara tidak
sengaja Aksenov memergokinya. Makar mengancam akan membunuhnya kalau dia
bercerita. Lubang tersebut akhirnya diketahui penjaga dan para tahanan diinterogasi,
namun tak satupun yang mengaku.

Akhirnya para penjaga bertanya pada Aksenov yang jujur dan bijaksana.
Ditengah kegundahan, dendam dan benci yang sangat pada Makar, Aksenov
memutuskan untuk menjawab bahwa bukan kehendak Tuhan bagi Aksenov untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Walaupun didesak, Aksenov tetap tidak
mengatakannya.

Hal ini membuat Makar sangat terenyuh. Dia memohon maaf pada Aksenov
malam harinya. Makar berjanji akan mengakui semuanya, namun bagi Aksenov
semua tidak ada gunanya karena istrinya telah meninggal dan anak-anaknya
melupakannya. Makar semakin sedih dan kembali minta maaf sampai tersedu-sedu
sehingga membuat Aksenov juga menangis. Pada saat itu dia mengatakan bahwa
Tuhan memaafkan Makar. Perasaan lega dan hilangnya keinginan untuk pulang
merupakan akhir yang membebaskan beban Aksenov karena dia hanya berharap akan
datangnya kematian. Keinginannya terwujud tepat pada saat dia hendak dibebaskan
setelah pengakuan Makar.

Aksenov merupakan simbol orang jujur dan baik hati namun bernasib sial.
Kegemarannya menolong orang dan bicaranya yang cenderung jujur sangat
kontradiktif dengan tuduhan pembunuhan yang ditujukan padanya. Balasan yang dia
dapat dari perbuatannya sangat tidak setimpal dan penderitaan tersebut dibawa sampai
akhir hayatnya. Dengan demikian cerpen ini seolah-olah bertentangan dengan hukum
alam .

Orang baik yang menemui nasib buruk merupakan tema yang kontradiktif
dalam masyarakat Indonesia. Kesulitan di Indonesia adalah adanya semacam tuntutan
bahwa sastra harus sepenuhnya bertalian dengan kepentingan moral. Dalam hal ini
Arswendo berpendapat (dalam Darma, 1984:62) bahwa Tema yang baik, setiap
perbuatan yang buruk akan musnah atau kalah dengan perbuatan yang baik, tidak
selalu berarti mutunya baik. Mutu melibatkan pengolahan dan penyuguhan
menggambarkan proses untuk menghidupkan tema . Secara umum, tidak seharusnya
orang yang tidak bersalah dan baik hati berada dalam penjara, terkurung dan
menderita secara lahir-batin sementara orang yang jahat menikmati kebebasannya dan
tetap melakukan kejahatannya. Kehilangan keluarga dan kebahagiaan seharusnya
menjadi hak dari orang yang suka menebar kejahatan.

Penderitaan Aksenov membangkitkan pathos pembaca. Pathos , yang berasal
dari bahasa Yunani, mempunyai arti ganda: simpati dengan apa yang terjadi dalam
karya sastra dan empathy , yaitu merasa secara langsung terlibat dalam apa yang
terjadi dalam karya tersebut (Darma, 1984:61). Kepawaian Tolstoy dalam
membangkitkan pathos pembaca mengalir ketika Aksenov dituduh membunuh teman
yang baru dikenalnya. Hal ini sangat sulit dipercaya karena pada awal cerita
dikisahkan bahwa Aksenov adalah karakter yang baik hati. Tolstoy menggiring emosi
pembaca lebih dalam dengan menampilkan keadaan istrinya dan anak-anaknya yang
masih sangat kecil untuk menanggung beban kehilangan seorang suami dan ayah
yang dihukum atas kejahatan yang tidak dia lakukan.
His wife was in despair, and did not know what to believe. Her children were
all quite small; one was a baby at the breast (Tolstoy, 1872:3).

Seiring dengan berkembangnya plot, istrinyapun menyangsikan kejujuran
Aksenov. Penderitaan yang mendalam membuat pelaku utama berputus asa akan
pertolongan manusia. Hanya kepada Tuhanlah diserahkan segala duka. Pembaca
semakin merasa bersimpati atas nasib Aksenov yang tidak dipercaya siapapun dalam
cerita. Penderitaan yang dialami Aksenov dikemas dalam bahasa yang menyentuh
sehingga membangkitkan empaty pembaca. Pembaca seolah-olah terlibat langsung
dengan perasaan Aksenov melalui peristiwa-peristiwa yang dialaminya.
...when he remembered that his wife also had suspected him, he said to
himself, It seems that only God can know the truth; it is to Him alone we must appeal
and from Him alone expect mercy.
And Askenov wrote to more petitions, gave up all hope, and only prayed to
God (Tolstoy, 1872:4).
Seseorang juga diharapkan berlaku adil dalam memberikan keputusan dengan
mengumpulkan bukti-bukti terlebih dahulu sebelum melakukan penangkapan dan
penghakiman. Pesan ini disampaikan melalui karakter polisi dan hakim dalam
menangkap dan menghukum Askenov. Hanya berdasarkan asumsi bahwa Askenov
adalah orang terakhir yang terlihat bersama korban maka seorang polisi menangkap
dan menjadikan Askenov kriminal tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu.
Tindakan polisi dan hakim serta kepengecutan pelaku kejahatan (Makar) telah
menghancurkan hidup Askenov dan keluarganya secara fisik dan mental. Mereka
terpisah untuk selamanya dan tidak dapat menemukan kembali kebahagiaan yang
pernah ada ketika keluarga tersebut hidup bersama. Jiwa Askenov telah mati pada hari
ketika dia dihukum seperti yang telah dikemukakannya pada Makar ketika Makar
hendak mengakui segala perbuatannya.

Walaupun demikian, penderitaan panjang Askenov membawanya menjadi
seorang yang pasrah dan dekat dengan Tuhan. Kebijaksanaannya memukau karakter
lain bahkan, sifatnya yang pengampun menuntun Makar untuk menyadari semua
kesalahannya pada Askenov. Keluhuran budi Askenov yang terbentuk dari beban
yang tiada ujung merupakan energi penggerak Makar untuk mengingat maaf dari
Tuhan selain dari Askenov sendiri.
Setelah membaca suatu karya sastra pembaca bisa merasakan tahap katarsis.
Catharsis merupakan pembersihan diri setelah menyaksikan atau membaca kisahRohmy
kisah yang tragis. Setelah membaca pengalaman pahit, tragis, bahkan berdarah yang
dialami oleh karakter hingga karakter tersebut dapat melaluinya dengan beragam cara
maka pembaca akan mencapai suatu bentuk kelegaan atau katarsis. Lega setelah
mengetahui bahwa penjahat akhirnya dihukum, lega setelah menyaksikan bahwa
pahlawan dapat menang. Namun tidak semua cerita selalu berakhir dengan
kemenangan putih atas hitam, seperti halnya dalam kehidupan nyata. Dengan
demikian, untuk mencapai katarsis, pembaca memerlukan tahap sadisme yang dialami
tokoh cerita sebelum akhirnya semua masalah terselesaikan.
Katarsis yang dirasakan oleh pembaca atas pengakuan Makar serasa tertahan
dengan tibanya ujung usia Askenov yang tidak memungkinkannya untuk merajut
kembali kebahagiaan yang seharusnya bisa diraihnya atas kebebasannya. Dalam hal
ini Leo Tolstoy membuktikan bahwa karya sastra yang bermutu bukan hanya sastra
yang happy ending dimana kejahatan selalu kalah dengan kebaikan. Lebih jauh,
kehidupan nyata tidaklah sesederhana itu, manusia seringkali harus melalui tahapan
yang sulit untuk menunjukkan kualitas dirinya. Dan jika tahapan itu terlalui dengan
baik, balasannya tidak selalu dirasakan dalam kehidupan di dunia. Terkadang manusia
harus mempertaruhkan kehidupannya untuk mencapai kebahagiaan dan hakikat hidup
yang sebenarnya.
Telaah moral tersebut diharapkan dapat menghidupkan perasaan mahasiswa
akan kepekaan mereka terhadap penderitaan dan penghargaan atas kejujuran dan
pengampunan. Dengan ikut bersimpati dan berempati pada suatu karya sastra, maka
sastra bukanlah sesuatu yang hanya ditelaah secara kaku dari unsur-unsur struktur
pembangunnya secara terpisah. Sastra merupakan suatu penuturan kehidupan yang
ditulis dengan makna didalamnya.

4. Kesimpulan
Penanaman moral dan budi pekerti dalam pengajaran akan lebih berhasil
apabila diberikan kepada anak didik kita melalui karya sastra (cerita pendek, novel,
dongeng) tentunya dengan pemilihan karya sastra yang tepat dan sesuai dengan nilai
moral akan kita tanamkan kepada anak didik. Mungkin kita masih ingat ketika kita
memberikan nasehat kepada orang lain kita sering dianggap menggurui orang
tersebut. Namun tidak demikian dengan sastra, pemberian cerita yang tepat kepada
anak didik akan mampu menamkan nilai-nilai moral dan pekerti yang lebih mendalam
serta mampu mingkatkan kempuan kognitif untuk lebih kritis menelaah suatu
permasalahan.

DAFTAR PUSTAKA
Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesiatera.
Darma, Budi. 1984. Sejumlah Esai Sastra. Jakarta: PT Karya Unipress.
Dharmojo, 2007. Critical Discourse Analysis (CDA) sebagai Model Pembelajaran
Sastra: http://cakrawalasastraindonesia.blogspot.com
Djojosuroto, K. 2006. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka
Rooijakkers. 1991. Mengajar dengan Sukses. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Sukardi. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Wellek dan Warren. 1995. Teori Kesusastraan (Terjemah oleh Melani Budianta).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wijaya, Putu. 2007. Pengajaran Sastra
http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra/ diakses 1 Juli
2008
Sarjono, Agus R. 2008:
http://www.pusatbahasa.diknas.go.id/laman/nawala.php?info=artikel&infocm
d=show&infoid=29&row=1 diakses 1 Juli 2008
------. 2003. The Best Stories and Tales of Leo Tolstoy. India: Crest Publishing House.
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Senin, 30 Maret 2009

Pengajaran Sastra Berdimensi Moral

Pengajaran Sastra Berdimensi Moral

Sudaryanto, Spd Guru Bahasa Indonesia MAN Yogyakarta III

Krisis moral tengah menjalar dan menjangkiti bangsa ini. Hampir semua elemen bangsa juga merasakannya. Pilkada yang ricuh, kasus korupsi anggota dewan, hingga tebar janjijanji politik menjelang Pemilu 2009. Mengapa seolah-olah bangsa ini, dari tahun ke tahun, tidak pernah sadar dan sesegera mungkin menyembuhkan dirinya? Justru sebaliknya, bangsa ini makin dijangkiti krisis moral yang makin ëakut' kondisinya. Mengapa demikian?

Dimensi moral erat kaitannya dengan dimensi watak. Setiap individu memiliki penilaian moral yang berbeda-beda. Itu pun tergantung watak dari tiap-tiap individu. Misalnya, seseorang dikatakan jujur ketika dirinya mempraktikkan watak kejujurannya di setiap waktu dan tempat. Ia tak memilihmilih waktu dan tempat, de ngan bermaksud riya' atau ingin dipuji orang lain. Artinya, kapan pun dan di mana pun, ia tetap berwatak jujur kepada Tuhan, orang lain, dan terutama, diri sendiri.

Pendek kata, krisis moral bisa diatasi dengan pembinaan watak. Dalam lingkup sekolah, misalnya, pembinaan watak dapat diterapkan melalui pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (disingkat pengajaran sastra). Artinya, pengajaran sastra yang berdimensi moral. Namun, pertanyaannya, bisakah pengajaran sastra kita mengemban tugas suci nan berat itu? Jika ya, upaya apa-apa saja yang bisa dilakukan guru di kelas, agar nilai-nilai moral mudah dipahami oleh para siswa?

Sejatinya, pengajaran sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanaman nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral, seperti kejujuran, pengorbanan, demokrasi, santun, dan sebagainya, banyak ditemukan dalam karya-karya sastra. Baik puisi, cerita pendek, novel, maupun drama. Bila karya sastra itu dibaca, dipahami isi dan maknanya, serta ditanamkan pada diri siswa, saya yakin, siswa kita makin menjunjung nilai-nilai moral. Tapi kenyataannya?

Jujur diakui, siswa kita masih jauh dari sikap moral yang baik. Dari segi tindak tutur, mereka cenderung kasar dan tidak santun kepada gurunya. Dari segi akhlak (Islam), mereka berbuat pelanggaran, seperti merokok di bulan Ramadhan. Dari segi ketertiban, mereka suka membolos dari sekolah, jajan di waktu sembarangan, dan suka ugal-ugalan membawa kendaraan bermotor. Dalam bahasa pokrol, mereka berbuat a-moral. Ironisnya, perbuatan mereka cenderung merugikan diri sendiri dan orang lain.

Terkait itu, pembinaan watak siswa menjadi tanggung jawab semua elemen sekolah. Dari kepala sekolah, guru, pihak BK, OSIS, hingga siswa sendiri. Hanya saja, proses pembinaan watak bukanlah proses sekali jadi. Kita pun butuh waktu yang lama guna mengubah watak siswa yang awalnya amoral menjadi bermoral. Pengajaran sastra di sekolah mungkin dapat mengatasi hal tersebut. Namun, sungguh ironis, pengajaran sastra kita umumnya masih kurang greget karena masih menggunakan paradigma lama. Bahkan penyair senior, Taufiq Ismail mengata kan, siswa SMU Indonesia tidak satu pun ada buku wajib sastra yang dibaca. Arti nya, siswa SMU kita itu nol judul. Ban ding kan dengan negara lain yang buku sastra wajib bacanya berkisar 5 hingga 32 judul buku.

Jika kita bercermin pada masa lalu, di zaman AMS Hindia Belanda, siswa diwajibkan membaca buku sastra 25 judul bagi AMS Hindia Belanda-A dan 15 judul bagi AMS Hindia Belanda-B. Berarti kita mengalami penurunan! Padahal, kurangnya siswa belajar sastra justru mengaki bat kan siswa kita makin jauh dari nilai-nilai moral. Akibatnya, ketika mereka dewasa, mereka juga bertindak yang jauh dari nilai-nilai moral dan agama seperti yang terjadi dewasa ini.

Padahal, pengajaran sastra memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dalam semua aspek, termasuk moral. Melalui apresiasi sastra, misalnya, kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa dapat dilatih, serta dikembangkan. Siswa tak hanya terlatih untuk membaca saja mampu mencari makna dan nilai-nilai dalam sebuah karya sastra. Bukankah dalam setiap karya sastra terkandung tiga muatan: imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai?

Karena itu, apresiasi sastra yang baik seyogianya relevan dengan empat keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Jika itu terwujud, saya yakin, siswa dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan membaca karya sastra, diharapkan sejumlah nilai-nilai moral bisa dipahami, serta dipraktikkan siswa, baik di sekolah, rumah, maupun masyarakatnya.

Namun begitu, upaya di atas tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Saya kira, apresiasi sastra akan tumbuh bilamana guru Bahasa dan Sastra Indonesia juga menyukai sastra. Tapi, umumnya banyak guru yang kurang menyukai sastra. Bahkan, tak jarang guru hanya berbekal karya sastra yang ia peroleh pada saat mereka berkuliah (S1). Bahkan tak jarang pula, masih ada guru yang bingung memilih bahan ajar yang tepat, menyenangkan, dan bermanfaat bagi para siswanya.

Karena itu, saran yang mujarab ialah guru harus memiliki minat baca karya sastra yang tinggi. Dalam penyampaian materi pun dapat digunakan karya-karya populer yang dekat dengan kehidupan anak didik. Karya-karya populer atau bertema remaja yang diminati, misalnya, dapat menjadi pintu masuk untuk menikmati sastra. Begitu juga dengan sastra yang diterbitkan di koran, juga dapat digunakan. Mudah-mudahan apresiasi sastra dapat terwujud dan mengatasi krisis moral.
Reference:
http://www.republika.co.id/koran/35/29639/Pengajaran_Sastra_Berdimensi_Moral

Pengajaran Sastra di Tengah Fenomena Involusi Budaya

Pengajaran Sastra di Tengah Fenomena Involusi Budaya
Saturday, 7 March 2009 (10:23) | 130 pembaca | 68 komentar
Dalam dua dekade terakhir, nurani kita dikejutkan oleh berbagai ulah anomali yang dilakukan oleh kaum remaja-pelajar kita. Perilaku bringas dan kasar seolah-olah telah menjadi tontonan rutin di atas panggung sosial kita. Tawuran, ngepil, pergaulan bebas, dan berbagai ulah tak terpuji lainnya seolah-olah sudah menjadi trend yang wajar, bahkan telah menjadi bagian dari budaya “kontemporer” pelajar kita. Dengan kata lain, kehidupan kaum pelajar kita telah terperangkap ke dalam kubangan involusi budaya; gaya hidup telah kehilangan daya rem moral dan terhipnotis oleh kekaguman-kekaguman lahiriah yang mewujud dalam sikap hidup pragmatis, materialistis, dan hedonistis.
Dunia pendidikan pun tak luput terkena imbasnya. Lembaga persekolahan dituding telah gagal menjalankan fungsinya sebagai “pusat” transformasi budaya yang seharusnya mampu menghasilkan keluaran yang memiliki memiliki kecerdasan utuh dan “paripurna”; cerdas intelektual, emosional, sosial, dan spiritualnya.
Meski lebih banyak salah alamat, tudingan semacam itu memang perlu menjadi bahan refleksi bagi dunia pendidikan sehingga lebih mampu berperan dan berkiprah dalam melahirkan generasi masa depan yang beradab dan berbudaya. Dalam konteks demikian, pengajaran sastra perlu mengambil peran sebagai “katalisator” sekaligus filter yang akan mampu membentengi pelajar kita dari berbagai ulah anomali dan tak terpuji.
Manusia Berbudaya
HLB Moody pernah menyatakan bahwa pengajaran sastra yang baik akan mampu memberikan sumbangan terhadap dunia pendidikan, di antaranya dalam hal kemampuan berbahasa, pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak. Hal senada juga dikemukakan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. bahwa karya sastra mampu memberikan kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, memberikan kegembiraan dan kepuasan batin, mampu menunjukkan kebenaran manusia dan kehidupan secara universal, dapat memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri keindahannya, dapat memberikan penghayatan yang mendalam terhadap apa yang diketahui, bahkan dapat menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang responsif terhadap nilai-nilai keluhuran budi.
Namun, secara jujur harus diakui, pengajaran sastra di sekolah selama ini belum berlangsung seperti yang diharapkan. Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan terhadap kegagalan pengajaran sastra di sekolah. Pertama, kurang tersedianya buku-buku sastra yang sesuai dengan latar belakang sosial-budaya pelajar. Kedua, masih minimnya guru sastra (dan bahasa) yang terlibat secara aktif dalam dunia kepenulisan teks sastra kreatif di berbagai media. Ketiga, guru seringkali tak berdaya menghadapi tuntutan dan target kurikulum, sehingga setting pembelajaran di kelas jadi kaku dan monoton. Keempat, para sastrawan kita, disadari atau tidak, cenderung asyik dengan dunianya sendiri dan jarang berdialog dengan pelajar di sekolah.
Yang lebih memprihatinkan, kebijakan pemerintah selama ini cenderung tidak berpihak kepada pendidikan nilai kemanusiaan (humaniora). Pengajaran sastra yang diharapkan mampu berperan dalam menyuburkan nilai-nilai kemanusiaan belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pengambil kebijakan. Status “nunut” kepada mata pelajaran bahasa seringkali “memandulkan” pengajaran sastra. Kondisi ini diperparah dengan minimnya guru bahasa yang benar-benar memiliki minat dan kesungguhan dalam menyajikan materi ajar sastra dengan baik.
Jika kondisi semacam itu terus berlangsung, bukan mustahil generasi masa depan yang lahir dari “rahim” dunia pendidikan kita akan terus terjebak ke dalam proses involusi budaya sehingga gagal melahirkan generasi yang “sadar budaya”. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius dan sinergis dari berbagai elemen pendidikan agar memosisikan pengajaran sastra menjadi lebih terhormat dan bermartabat. Seidaknya, guru sastra harus memiliki keberanian untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam mendesain pembelajaran sehingga tak terjebak ke dalam aktivitas pengajaran yang kaku dan monoton. Selain itu, frekuensi dialog antara pelajar dan sastrawan perlu lebih diintensifkan. Program “Siswa Bertanya-Sastrawan Menjawab” yang pernah digagas oleh Majalah Horizon beberapa waktu yang lalu perlu direvitalisasi dan diperluas wilayah kerjanya sehingga mampu menyentuh pelajar yang tinggal di berbagai daerah.
Melalui pengajaran sastra yang berhasil diharapkan generasi masa depan negeri ini tak gampang terjebak untuk melakukan tindakan-tindakan konyol yang dapat membunuh masa depannya sendiri. Nah, bagaimana? ***
Reference:
http://sawali.info/2009/03/07/pengajaran-sastra-di-tengah-fenomena-involusi-budaya/

MENCARI SOLUSI PENGAJARAN SASTRA INDONESIA

MENCARI SOLUSI PENGAJARAN SASTRA INDONESIA
Oleh: Mukhlis A. Hamid, M.S.
1. Pendahuluan
Pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pengajaran sastra memang pengajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, subjek didik, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang tak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal. Hasil wawancara bebas dengan para guru bahasa dan sastra Indonesia dalam berbagai kesempatan selama ini menunjukkan bahwa secara umum, keluhan-keluhan dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal berkisar pada hal-hal berikut.
Pertama, pengetahuan dan kemampuan dasar dalam bidang kesastraan para guru sangat terbatas. Materi kesastraan yang mereka peroleh selama mengikuti pendidikan formal di LPTK sangat terbatas. Materi kuliah kesastraan yang mereka peroleh lebih bersifat teoretis, sedangkan yang mereka butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis. Kedua, buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah, khususnya di SLTP dan SMU juga terbatas. Keterbatasan buku penunjang ini tidak terjadi di SD karena hampir semua SD, di daerah perkotaan khususnya, setiap tahun menerima kiriman buku bacaan dari Proyek Perbukuan Nasional Depdikbud. Cuma saja, pemanfaatan buku bacaan tersebut tampaknya belum maksimal karena ada faktor lain yang berkait dengan ini, yaitu faktor minat siswa atau subjek didik. Minat belajar dan minat membaca para siswa masih sangat rendah. Faktor ketersediaan waktu, manajemen perpustakaan sekolah, dan dorongan dari guru menjadi penyebab utama dalam hal ini.
Berbagai kendala di atas menyebabkan pengajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Tujuan akhir pembelajaran sastra, penumbuhan dan peningkatan apresiasi sastra pada subjek didik belum menggembirakan. Tulisan ini mencoba mengulas secara ringkas akibat yang muncul dari berbagai faktor di atas beserta alternatif pemecahan untuk kita diskusikan lebih lanjut. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk mencoba mencari titik temu dan kesamaan persepsi kita ke arah peningkatan kualitas pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal pada masa yang akan datang.
2. Pengajaran Sastra di Lembaga Pendidikan Formal: Terasa Ada Terucapkan Tidak
Beranjak dari berbagai keluhan yang dikemukakan di atas, tampaknya ada beberapa hal yang tampaknya perlu dicermati ulang dalam pembelajaran sastra di sekolah dengan menggunakan acuan kurikulum yang diberlakukan saat ini. Pertama, dalam Kurikulum 1994 yang diberlakukan di SD, SLTP, ataupun SMU disebutkan bahwa pengajaran sastra dalam berbagai aspeknya diarahkan pada penumbuhan apresiasi sastra para siswa sesuai dengan tingkat kematangan emosionalnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sastra idealnya diarahkan pada penumbuhan apresiasi pada siswa. Apresiasi sebagai sebuah istilah dalam bidang sastra dan seni pada umumnya sebenarnya lebih mengacu pada aktivitas memahami, menginterpretasi, menilai, dan pada akhirnya memproduksi sesuatu yang sejenis dengan karya yang diapresiasikan. Karena itu, kegiatan apresiasi tidak hanya bersifat reseptif: menerima sesuatu secara pasif. Tetapi, yang lebih penting, apresiasi juga bersifat produktif: menghasilkan sesuatu secara aktif. Karena itu, pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal idealnya tidak hanya sebatas pada pemberian teks sastra dalam genre tertentu untuk dipahami dan diinterpretasikan oleh siswa (apresiasi reseptif). Pengajaran sastra harus diarahkan pada penumbuhan kemampuan siswa dalam menilai atau mengkritik kelebihan dan kekurangan teks yang ada dan akhirnya, berdasarkan penilaian/kritik tersebut, siswa mampu membuat sebuah teks lain yang lebih bermutu, baik teks yang segenre ataupun tidak.
Mungkin ada di antara kita yang menganggap apa yang diuraikan di atas terlalu ideal, hanya ada dalam angan, tetapi sukar ditemukan di alam nyata. Bagaimana mungkin guru, sebagaimana disebutkan pada bagian awal tulisan ini, yang pengetahuan dan kemampuan dasar kesastraannya sangat terbatas diminta untuk mengajar siswa menghasilkan kritik teks dan bahkan menghasilkan karya sastra dalam berbagai genre. Dalam hal ini, ada dua alternatif yang mungkin dapat dipilih. Pertama, secara personal kita harus menyadarkan diri sendiri bahwa kita secara sadar sudah memilih profesi guru sebagai pekerjaan. Sebagai seorang guru seharusnya kita mengetahui sedikit lebih banyak daripada murid atau subjek ajar. Penyadaran diri ini memacu kita untuk menambah wawasan dan keterampilan dalam bidang yang kita ajarkan secara otodidak. Kedua, kita hanya berperan sebagai organisator dan fasilitator dalam pembelajaran, sedangkan nara sumber bagi anak didatangkan dari luar. Guru dalam hal ini mengundang atau mengajak sastrawan ke sekolah pada waktu tertentu. Bila perlu dan memungkinkan sekali waktu siswa dibawa langsung ke tempat pagelaran sastra. Kesempatan ini dapat digunakan juga untuk berdialog secara langsung dengan sastrawan sehingga secara tidak langsung menumbuhkan kemampuan apresiasi sastra siswa melalui kegiatan yang lebih bersifat produktif di samping yang bersifat reseptif. Langkah ini sekaligus dapat digunakan untuk meninggalkan pemikiran dan strategi “loncat sajalah” dalam pembelajaran sastra di sekolah.
Kedua, ketiadaan buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah menyebabkan pelaksanaan pembelajaran aspek sastra menjadi tidak berimbang dengan aspek bahasa. Dalam kurikulum yang sudah disempurnakan saat ini pun materi ajar sastra masih terintegrasi dengan materi kebahasaan karena pelajaran khusus yang bernama “sastra” tidak ada. Yang ada hanyalah pelajaran Bahasa Indonesia atau pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Dalam bagian Rambu-Rambu Pembelajaran dalam kurikulum sebenarnya disebutkan bahwa pengajaran aspek bahasa dan sastra dilaksanakan secara berimbang. Malah, dalam kurikulum pun disebutkan bahwa melalui pendekatan integratif yang dikembangkan saat ini, materi ajar sastra dapat digunakan untuk mengajarkan materi kebahasaan dalam berbagai aspeknya kepada siswa. Bukankah teks sastra dapat dimanfaatkan untuk mengajar kosakata, lafal, kalimat, paragraf, keterampilan membaca, keterampilan menulis, keterampilan berbicara, dan sebagainya.
Kendala ketiadaan buku dan bahan penunjang pembelajaran yang dikeluhkan selama ini sebenarnya dapat ditanggulangi melalui beberapa cara. Pertama, pemanfaatan media massa tercetak, seperti koran harian, mingguan, tabloid, dan majalah yang memuat karya sastra. Sekolah dapat berlangganan secara rutin koran atau majalah tertentu sesuai dengan kemampuan dana sekolah. Bila tidak memungkinkan, guru atau pihak sekolah membeli koran atau majalah tertentu pada hari, minggu, atau bulan tertentu sesuai dengan keperluan. Bila hal ini juga tidak memungkinkan, guru menugasi siswa untuk mencari secara personal atau kelompok teks sastra yang dipublikasikan di media cetak sesuai dengan topik yang diajarkan.Untuk publikasi lokal, harian Serambi Indonesia edisi hari Minggu dan mingguan Aceh Ekspress merupakan dua media yang dapat digunakan untuk itu.
Cara lain yang dapat digunakan ialah pemanfaatan tradisi lisan yang masih berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini, guru meminta siswa untuk membuat rekaman (kaset atau tertulis) folklor sastra yang ada dalam masyarakat di sekitarnya. Hasil rekaman inilah yang dibawa dan dibicarakan di sekolah. Di samping itu, pemanfaatan media elektronik daerah dan nasional (milik pemerintah atau swasta) yang pada hari dan saat tertentu menayangkan ragam sastra tertentu untuk dinikmati oleh pemirsa. Tradisi sastra lokal, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, drama, dan sebagainya yang ditayangkan di radio dan televisi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran bagi siswa melalui pemberian tugas secara personal ataupun kelompok.
Ketiga, persoalan minat belajar sastra. Faktor minat belajar memang merupakan masalah lain yang sangat mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran sastra di sekolah. Masalah minat ini sangat personal sifatnya sehingga pola penanganannya pun sangat bervariasi. Namun, satu hal yang pasti, faktor penggunaan metode penyajian dan pengevalusian hasil pembelajaran sastra di sekolah erat sekali hubungannya dengan penumbuhan minat belajar pada siswa. Hasil pengamatan dan wawancara dengan rekan-rekan guru menunjukkan bahwa selama ini pembelajaran sastra cenderung bersifat teoretis. Hal ini berhubungan dengan berbagai faktor lain, termasuk faktor kemampuan guru dan fasilitas belajar. Kurikulum sebenarnya tidak menuntut pemberlakuan satu metode tertentu dalam pembelajaran sastra. Kurikulum malah memberikan kesempatan pada guru untuk menggunakan berbagai metode secara bervariasi dalam penyajian materi tertentu sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai. Karenanya, orientasi pada pengajaran konsep teori sastra dan sejarah sastra tampaknya sudah saatnya dikurangi. Yang lebih dipentingkan saat ini tampaknya adalah pengakraban siswa dengan karya sastra sehingga mereka menemukan keasyikan personal dalam membaca, mengkritik, dan mengkreasikan teks sastra. Metode respon-analisis, strata norma, dan pendekatan-pendekatan lain secara bervariasi sudah saatnya digunakan dalam pengkajian teks sastra di kelas. Untuk itu, guru perlu membaca buku dan media cetak lain yang menjelaskan konsep dasar dan teknik penerapan metode atau pendekatan tersebut.
Hal lain yang erat sekali hubungannya dengan penumbuhan minat pada siswa adalah penggunaan teknik evaluasi pembelajaran. Selama ini, evalusi pembelajaran sastra lebih diarahkan pada penguasaan teori dan sejarah sastra. Soal-soal buatan guru ataupun soal standar nasional belum berorientasi sepenuhnya pada evaluasi yang bersifat apresiatif. Evaluasi yang bersifat apresiatif seharusnya beranjak dari hakikat karya sastra sebagai karya yang memungkinkan timbulnya interpretasi yang beragam, yang mungkin berbeda antara satu siswa dengan siswa yang lain. Karenanya, penggunaan soal bentuk isian ataupun soal uraian tampaknya lebih tepat digunakan dalam evaluasi pembelajaran sastra. Penggunaan soal bentuk yang lain, pilihan berganda misalnya, memaksa siswa untuk memilih satu jawaban yang dianggap paling tepat oleh pembuat soal sehingga interpretasi personal siswa tidak berkembang.
3. Penutup
Tampaknya masih banyak yang harus dilakukan untuk menjadikan pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal tidak lagi sarat dengan berbagai masalah pada masa yang akan datang. LPTK negeri dan swasta (FKIP, STKIP, dsb.) sebagai lembaga yang mendidik calon guru sastra sudah saatnya meninjau kembali penetapan jenis dan bobot mata kuliah kesastraan yang diprogramkan per semester, isi silabus per mata kuliah, kualifikasi dosen pengajar mata kuliah kesastraan, dan berbagai hal lain yang berkait dengan perkuliahan kesastraan di LPTK. Kecenderungan untuk menganggap kuliah kesastraan itu mudah, sepele, dan dapat diajarkan oleh siapa saja selama ini sudah saatnya ditanggalkan.
Bagi rekan-rekan guru yang sudah terlanjur memilih menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia (dan daerah) di lembaga pendidikan dasar dan menengah sudah saatnya kita mengintrospeksi diri dan bertekad memberikan yang terbaik untuk pengajaran sastra. Kecenderungan untuk pasrah menerima kekurangan dan keterbatasan diri, keterbatasan fasilitas, dan berbagai keterbatasan lain sudah saatnya dibuang. Demikian juga halnya dengan kecenderungan untuk asal masuk kelas, asal anak-anak tidak ribut, asal target kurikulum tercapai, dan berbagai asal-asalan lain. Mestinya kita bangga bila murid kita mampu membaca puisi dengan baik, mampu membaca cerpen dengan benar, mampu mempublikasikan puisi atau cerpen di media cetak tertentu, terlibat dalam kelompok musikalisasi puisi, terlibat dalam kelompok teater, dan berbagai aktivitas kesastraan lainnya, meskipun dari awal kita sadari bahwa pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal tidak dimaksudkan untuk melahirkan penyair, cerpenis, dramawan, dan praktisi sastra lainnya.
Bagi adik-adik yang sudah terlanjur menjadi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sudah saatnya kita ubah visi kita tentang sastra (dan bahasa). Menjadi calon guru sastra (dan bahasa) tidak semudah dan tidak senaif yang dibayangkan oleh orang lain di luar kita. Malah, yang sering terjadi di lapangan, kelemahan dalam bidang studi lain dihubungkan dengan kegagalan guru bahasa (dan sastra) dalam menumbuhkan kemampuan membaca, kemampuan bernalar, dan kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan dalam bidang studi tersebut. Sebagai calon guru sastra (dan bahasa) pada masa yang akan datang seharusnya kita punya kemampuan yang lebih baik daripada pendahulu kita. Berbagai kemudahan dan fasilitas yang ada dan ditawarkan dalam pembelajaran sastra saat ini hendaknya dimanfaatkan secara maksimal. Bila perlu, kegiatan lain yang berkait dengan kesastraan yang dilaksanakan di luar kampus kita ikuti untuk menambah bekal ilmu dan bekal keterampilan yang kita butuhkan nanti saat menjadi guru.
Semoga ulasan ini menggugah kita semua dalam usaha peningkatan kualitas pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal. Terima kasih.
Daftar Bacaan:
Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra: Beberapa Prinsip dan Model Penerapannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Gani, Rizanur. 1988. Pengajaran Sastra Indonesia: Respon dan Analisis. Padang: Dian Dinamika Press.
Nurhayati dan Yuli Karsiah. 2000. “Peningkatan Kemampuan Siswa Memahami Puisi dengan Model Strata Norma” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2000. Malang: Universitas Negeri Malang.

Pengajaran Sastra oleh Putu Wijaya

Pengajaran Sastra oleh Putu Wijaya
3 Nopember 2007 •
Bagaimana sebaiknya mengajarkan sastra? Itu bukan pertanyaan pertama yang harus dijawab oleh seorang guru sastra. Karena mula-mula yang harus dijawabnya adalah: apakah sastra itu? Kemudian, menyusul pertanyaan: apa yang dimaksudkan dengan mengajarkan? Dapatkah sastra diajarkan? Lalu siapa saja yang hendak dibelajarkannya pada sastra.
Mungkin setelah itu seorang guru sastra mendapatkan beberapa pegangan untuk untuk menjawab, walau pun tidak benar-benar tuntas tentang: bagaimana mengajarkan pelajaran sastra. Tetapi sementara itu, pertanyaan lain sudah buru-buru hendak mengejar. Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya ada di luar sastra. Apa, siapa dan bagaimana sebenarnya apa yang disebut “guru” itu. Apakah itu sebuah lembaga atau orang?
Sastra menurut etimologinya adalah tulisan. Sedangkan kesusastraan adalah segala tulisan yang indah. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang tidak indah tidak termasuk sastra. Apa batas/syarat keindahan itu. Bagaimana kalau ada sebuah karya yang sama sekali tidak indah, tetapi mengandung ekspresi yang sangat penting, sehingga menuntun imajinasi mengembara ke sesuatu yang lain, yang mengantarkan ke pada makna-makna yang mendasar, sehingga menciptakan haru?. Apa itu juga keindahan? Kalau begitu keindahan itu bisa tidak indah?
Lalu bagaimana dengan sastra lisan yang menjadi salah satu kekuatan di dalam tradisi kita, apa itu bukan sastra hanya karena tidak tertulis? Sebuah sastra lisan Bali yang dikenal dengan nama Men Kelodang ( Bu Kelodang), misalnya, (atau ambillah sastra lisan yang mana pun) transkripsinya bila dibaca akan terasa patah dan tak indah.
Tetapi bila dibunyikan, lewat mulut seorang nenek untuk didengarkan oleh cucunya yang sedang tumbuh, ia menjadi sebuah tenung yang mengandung berbagai aspek. Di situ ada pendidikan moral yang diam-diam menjadi kekayaan batin calon penerus generasi itu di masa depan. Sastra lisan adalah sebuah lab, sebuah kepustakaan yang berwujud bunyi yang sangat besar artinya pada tradisi Timur yang menempatkan pembelajaran sebagai proses yang non formal yang disebut magang atau nyantrik..
Sastra dalam pemahaman saya, adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai bahasa sebagai basisnya. Dengan membuat kapling yang begitu lebar dan umum, maka kita seperti menjaring ikan dengan pukat harimau. Bukan hanya apa yang tertulis, apa yang tidak tertulis pun bisa masuk dalam sastra. Tidak hanya yang su (indah), catatan-catatan, surat-surat, renungan, berita-berita, apalagi cerita dan puisi, anekdot, graffiti, bahkan pidato, doa dan pernyataan-pernyataan, apabila semuanya mengandung ekspresi, itu adalah sastra.
Dengan memandang sastra dengan kaca mata lebar seperti itu, lingkup sastra mendadak membludak menyentuh segala sektor kehidupan. Tidak ada satu sudut kehidupan pun yang tidak mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasinya. Segala hal kena gigit oleh sastra. Teknologi dan dagang pun tak mampu bebas dari sastra.
Dengan kata lain, tak ada bidang yang tak terkait dengan sastra. Karenanya, bila sastra tiba-tiba menjadi sesuatu yang terisolir dalam kehidupan, pasti ada sesuatu yang telah sesat . Termasuk kesesatan dalam mengajarkan sastra itu sendiri.
Bila di masa lalu, pelajaran sastra hanya dikunyah oleh anak-anak bagian A (budaya) di SMA, bahkan kemudian nyaris dibuang, karena jam pelajarannya dikanibal oleh pelajaran tata bahasa, maka sebenarnya sudah terjadi kesalahan besar. Sastra harus dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa. Dan tanpa kehidupan rasa, semua cabang ilmu pengetahuan bukan hanya kering, membosankan, tidak manusiawi, tetapi juga tidak beradab.
Dengan memandang sastra seperti itu, tak ada yang tidak terjamah oleh sastra. Sastra sendiri sebaliknya juga tidak hanya terpatok pada dirinya sendiri. Sastra tak terkunci pada keindahan, kemolekan dan tulisan tok. Sastra tak hanya masturbasi kata-kata, tetapi idiom idiom bahasa, yang menjadi kanal-kanal ekspresi ke segala bidang, baik seni-budaya, teknologi, ekonomi maupun masalah-masalah sosial-politik, pendidikan, pemerintahan bahkan juga agama.
Tak heran, kalau di berbagai kampus yang sudah mapan, pembelajaran sastra, dikaitkan dengan sejarah dan politik. Karya-karya sastra tidak lagi hanya berhenti sebagai bacaan pelipur lara, tetapi juga menjadi dokumen sosial-politik terhadap kurun masa di saat pengarangnya hidup. Dari sebuah cerpen, misalnya, seorang professor pengamat politik di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat, membahas masalah G-30-S.
Guru sastra bertugas untuk membuka semua katup-katup sastra. Dengan keberadaan seorang guru permainan kata-kata itu tidak mampus sebagai teka-teki, tetapi memberikan inspirasi yang membuat sastra berdaya. Sastra akan memotivasi bahkan menstimulasi manusia untuk bangkit, bekerja, berjuang dan mencapai targetnya. Guru sastra adalah seoprang jubir, seorang PR, seorang menejer, seorang agen dan seorang penafsir. Walhasil seorang “:pemain” aktip, bukan hanya makelar apalagi
Pada prakteknya, seorang guru di masa lalu, adalah seorang “penghajar”. Ia memiliki posisi lebih tahu, lebih cerdik, lebih pintar dan lebih berkuasa . Untuk mengoper ilmu yang dikuasainya (padahal sering ilmu yang sudah kedaluwarsa), ia tak segan-segan melakukan kekerasan dengan dalih desiplin. Suasana kelas lebih merupakan pertunjukan monolog dan indoktrinasi tanpa boleh ada yang membantah. Yang terjadi bukan proses pembelajaran tetapi penderaan. Murid-murid disiksa untuk menelan, menghapal, apa yang dimuntahkan oleh guru. Berpendapat lain bisa dicap kurangajar.
Hasil pembelajaran seperti itu memang tak menghalangi anak-anak yang jenius untuk tumbuh terus dan melejit berdasarkan kodratnya. Tetapi secara umum, posisi guru yang menghajar itu sudah menyelewengkan makna pembelajaran menjadi pelajaran mengembik. Murid-murid hapal nama-nama, tahun dan jumlah, tetapi tak mampu memaknakan apa hakekat dari semua pengetahuan yang diterimanya.
Murid yang terdidik bertahun-tahun bukannya menjadi luas wawasannya dan kaya gagasannya, tetapi malah menjadi berkepala keras dan pada gilirannya, mentoladan jejak gurunya, menjadi otoriter.
Mengajar adalah mengantar, membimbing, mengembangkan potensi anak-anak didik dengan berbagai pengetahuan yang harus terus dikembangkan dan diikuti perkembangannya. Pelajaran bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mengantar mereka yang diajar agar sampai kepada hakekat dari makna-makna berbagai hal di dalam kehidupan yang terus bergerak, berkembang, bertumbuh bahkan mungkin berubah.
Kadangkala seorang guru bisa lebih bodoh dari muridnya, tetapi ia tetap seorang guru. Ia menjadi guru bukan karena lebih pintar, tetapi karena berkemampuan untuk mengembangkan potensi anak didiknya berdasarkan kemampuan masing-masing. Mengajar dengan demikian bukanlah mengindoktrinasi, atau menyulap orang bodoh menjadi pintar. Guru bukan seorang dukun, bukan juga tukang sihir dan bukan seorang tiran.
Guru adalah seorang teman yang membimbing yang membagi informasi secara periodik dan sistimatik, sesuai dengan tingkat kemampuan anak didiknya. Sehingga apabila ia menghadapi murid yang sangat pintar, yang lebih pintar dari dirinya, ia tidak perlu merasa terancam akan dipecat. Sekali seorang menjadi guru, ia tetap saja guru, karena itu sebuah fungsi yang tetap diperlukan oleh orang yang pintar sekali pun, karena “guru” lah yang menemani muridnya untuk mengembangkan kepintarannya.
Mengajar lebih cenderung sebagai menemani secara aktip, anak-anak didik dalam memunggut pengetahuan dari berbagai buku. Mengajar lebih kurang adalah menjadi seorang tukang kebun dengan berbagai bibit pohon yang memiliki watak berbeda-beda, di dalam sepetak tanah yang sama.
Kesibukan rutinnya adalah merawat dan mengembangkan. Bagaimana membagi perhatian, bagaimana menyiasati agar pohon-pohon itu berkembang, di tanah yang adanya memang begitu, adalah tanggungjawab guru.
Mengajar sama sekali bukan menghajar, meskipun sekali tempo diperlukan hajaran. Mengajar adalah mempengaruhi kalau perlu “menipu” anak didik untuk mencintai dan melihat kegunaan dari apa yang dibelajarkan. Mengajar berarti membuat siasat. Seorang guru harus belajar bersiasat, tanpa bersiasat, pembelajaran akan kembali menjadi penghajaran.
Seorang guru harus dapat membuktikan bahwa apa yang diajarkannya bermanfaat. Tanpa melihat kemanfaatan dari apa yang dipelajari, tanpa menyadari kaitannya dengan realita, maka pelajaran tetap akan kembali sebagai “penghajaran” yang membuat mereka yang belajar merasa didera/dihukum.
Mengajar bukan menyulap seorang anak yang bodoh menjadi pintar, bukan mendadani murid dengan asesoris ijazah/gelar, tetapi mencoba membuktikan bahwa bahwa anak yang bodoh itu sebenarnya sudah keliru, karena ia lupa bahwa dirinya pintar. Tak ada yang bisa diajarkan kepada orang lain, apalagi sastra.
Sastra tak bisa dan tak perlu diajarkan. Yang bisa dilakukan oleh seorang guru sastra dalam mengajar adalah mengajak anak didiknya untuk melihat kemanfaatan sastra. Memposisikan sastra sedemikian rupa pada tempatnya yang tepat sehingga jelas kaitannya, relevansinya dengan kehidupan dan proses pembelajaran. Dengan lain kata, seorang guru sastra berdiri di depan kelas di hadapan murid-muridnya, bagaikan seorang pembela di dalam sebuah peristiwa pengadilan, untuk membuktikan, untuk menunjukkan, bahwa sastra adalah ilmu.
Apa gunanya sastra. Mengapa sastra terkait dengan hidup setiap orang? Itulah yang harus dijawab oleh setiap guru sastra supaya pebelajarannya tidak menjadi penghajaran.
Ada banyak metode mengajar. Semua metode bagus, tetapi tidak semua yang bagus cocok dengan siapa yang mengajar dan siapa yang diajar. Sementara itu, siapa yang mengajar tidak harus lebih penting dari siapa yang akan diajar.
Bukan pengetahuan pengajar atau apa yang cocok dengan pengajar yang penting, tetapi apa yang akan menjadi pengetahuan yang diajar dan bagaimana membuat yang diajar jadi berpengetahuan, itulah yang menjadi prioritas dan agenda mutlak. Seorang guru sastra memiliki strategi masing-masing sesuai dengan medan dan kondisi orang-orang yang diajarnya.
Pelajaran sastra tak penting diajarkan oleh siapa, tapi siapa yang diajar, itu sangat menentukan. Di masa lalu hal ini diabaikan. Kurikulum yang ingin mensistimatiskan pendidikan, mecoba melihat pembelajaran sebagai membangun rumah. Desainnya yang terlebih dahulu dirancang. Kemudian dirinci pelaksanaannya sesuai dengan waktu dan biaya. Lalu hasilnya ditargetkan. Tapi apa yang terjadi?
Yang muncul adalah satu birokrasi yang rapih. Rumah pun jadi, nampak indah, tepat waktu, sesuai dengan rencana dan tidak ada pembengkakan biaya. Itu sem ua memang cocok buat menyusun laporan, sebab ada rencana, ada hasil, sehingga jelas plus dan minus prosesnya dalam setiap tahun. Persis seperti sebuah pembukuan uang.
Tetapi apa lacur, rumah yang dibangun itu, hasil pembelajaran sastra itu, ketika dihuni, ketika diujicoba hasilnya, yang tinggal hanya dendam, rasa benci dan muak, karena hanya menjadi kenang-kenangan bagi mereka yang sudah dihajar, terhadap tindak kekerasan. Rumah itu bukan dipersiapkan untuk ditinggali tetapi dilihat sebagai maket dal;am sebuah pameran. Pelajaran sastra hanya menjadi pelajaran tidak perlu yang buang-buang waktu dan membuat orang benci pada sastra.
_Pembelajaran sastra telah menghasilkan semacam Rumah Sangat Sederhana yang cocok untuk etalase laporan administrative, bahwa sudah dilaksanakan pembangunan. Namun kalau ditanyakan kepada para penghuninya, tak seorang pun yang dapat hidup tenang di dalam penjara yang mirip kotak-kotak burung dara itu. Berbeda dengan rumah-rumah liar yang tak terencana di tepi sungai atau sepanjang rel kereta api di stasiun.
Walau bentuknya tidak karuan, tetapi rumah-rumah itu benar-benar menjadi sarang bagi pengghuninya. Bentuk dan keindahannya tak direncanakan, tetapi tercipta berdasarkan kebutuhan penghuninya, sehingga cocok dan akrab. Rumah semacam itulah yang lebih diperlukan dalam proses pembelajaran sastra.
Mengajarkan sastra tidak boleh dimulai dengan sastra itu sendiri, tetapi siapa yang akan mempelajarinya. Lingkungan, latar belakang dan kebutuhan mereka yang hendak diberikan pelajaran sastra, tidak boleh kalah penting dari suara karya-karya itu. Tidak seperti pelajaran sejarah, sastra bukanlah masa lalu, karenanya harus mulai dari aksi-aksi yang nyata.
Kerucut sistim pembelajaran yang mengajak guru memulai pelajaran sastra seperti pelajaran sejarah sastra, sehingga harus mulai dengan menghapal apa itu pantun, gurindam, soneta dan seloka, perlu dibalik total. Pelajaran sastra harus hidup, dimulai dengan apa yang nyata di sekitar dalam lingkungan mereka yang diajar.
Sajak-sajak pamflet Rendra, lagu-lagu Bimbo yang liriknya ditulis oleh Taufiq Ismail, misalnya, selama ini tak pernah sempat diajarkan di dalam pelajaran sastra, karena adanya diujung kerucut. Bahkan guru-guru sastra pun banyak yang tidak tahu. Pelajaran sastra harus dimulai digenjot dari masa kini, karena sastra bukan hanya mimpi, bukan cerita masa lampau..
Sebuah sajak, novel, lakon, cerpen, esei dan sebagainya hanya alat untuk menyampaikan/mengekspresikan gagasan dari penulisnya/pengarangnya. Di balik cerita, di dalam kata-kata ada rembukan dan kesaksian. Itulah yang harus ditontonkan kepada mereka yang belajar sastra. Membaca karya sastra seperti menggali tambang mengeruk, memburu makna-makna yang bersembunyi di balik kata-kata.
Sajak “Aku” yang ditulis oleh Chairil Anwar, setiap kali dibaca kembali, seperti sebuah sajak yang baru, karena ia mengandung makna yang seperti tumbuh. Kata-kata memang sesuatu yang mati, tetapi maknanya berkembang, mengikuti interptretasi dari pembaca. Karya sastra tidak membungkam pembaca, tetapi justru menawarkan diri agar pembaca dapat mengembangkan interpretasinya. Sastra menggelorakan kehidupan pikir dan imajinasi pembaca. Permainan itulah yang akan membuat sastra menjadi semacam permainan yang seharusnya menarik dan asyik karena hampir tanpa batas.
Sebuah lakon bernama “Menunggu Godot” karya Samuel Beckett, adalah sumbangan yang monumental terhadap kehidupan. Sebagaimana Thomas Alfa Edison yang menemukan listrik, atau Einstein yang menyumbangkan teori kwantum, Beckett menangkap satu makna besar dari kehidupan bahwa pada hakekatnya manusia, semua manusia harus menunggu. Dengan memahami kesaksian Beckett tersebut, wawasan tentang kehidupan bertambah dan semakin jelas bahwa sastra bukan hanya hiburan, tetapi ilmu.
Sebuah novel berjudul “Uncle Tom’s Cabin” karya Beecher Stowe yang menceritakan penderitaan budak-budak kulit hitam di Amerika telah mengobarkan rasa kemanusiaan orang Amerika. Buku tersebut dianggap salah satu pencetus dari perang Saudara di Amerika yanbg kemudian membawa kesetaraan perlakuan terhadap kulit hitam di negara yang kini mengakju menjadi pelopor demokrasi itu.
Kita membutuhkan guru-guru pelajaran sastra yang memahami apa sastra dan bagaimana mengajarkan sastra kepada anak didiknya. Untuk itu, sebagaimana juga olahraga, diperlukan pendidikan khusus.
Tapi itu mungkin hanya sebuah mimpi, kecuali kalau pelajaran sastra diberikan posisi yang setara dengan pelajaran tata bahasa, setidak-tidaknya proposional. Lebih lanjut, kerucut kurikulum sebaiknya dibalik agar konteks kekiniannya keluar. Pembelajaran sastra tidak lagi dimulai dari Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi, tetapi dari — misalnya - Sutardji atau …….. .

Minggu, 29 Maret 2009

Sastra Indonesia dalam Skenario Imperialisme

SASTRA INDONESIA DAN SKENARIO IMPERIALISME


Oleh: Mahdiduri

Penyair dan ketua KSI Banten
(Republika, Senin, 23 Juli 2007, hlm. A-8)

Nasionalisme humanis dibangun atas dasar prinsip, setiap bangsa mampu
memberikan sumbangan dalam menegakkan harkat dan martabat manusia, serta untuk
pengembangan nilai-nilai humanisme sesuai dengan karakteristik dan sifat-sifat
bangsa itu.

Tidak hanya paham kebebasan, keadilan dan kesetaraan, tetapi paham toleransi
adalah hal yang perlu mendapat perhatian dalam tata pergaulan internasional.
Nasionalisme yang berlandaskan pada toleransi tidak hanya dapat menciptakan
perdamaian dunia, tetapi dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Demikian gagasan nasionalisme humanis dari seorang Soekarno.

Pada saat ini nasionalisme bangsa kita tengah dirongrong oleh kekuatan besar
dari Barat yang kita kenal sebagai imperialisme. Kita telah didikte bagaimana
bernegara, begitu banyak kebijakan-kebijakan yang seharusnya berpihak pada
rakyat telah disulap menjadi keuntungan para pemodal besar.
Sejak kebijakan penanaman modal asing ditetapkan pada tahun 1967, segala sendi
kehidupan berbangsa menjadi incaran penjajahan mereka, tak terkecuali
kebudayaan. Kita telah diberi fatamorgana budaya yang membuat kita merasa
nyaman. Pada sektor budaya ada sebuah skenario besar yang sedang dijalankan
lewat agen-agen yang sengaja ditanamkan di negeri ini dengan memakai wajah
kesenian.

Dalam skenarionya, pihak imperialis menyadari bahwa saat ini sangat tidak
mungkin untuk memaksakan kehendak dengan jalan menginvasi sebuah negara lewat
militerisme (walaupun hal itu sedang dilakukan di wilayah Timur Tengah). Maka,
strateginya melalui protectorate atau mandate dan targetnya adalah
menghancurkan tatanan politik, sosial, dan moral rakyat, agar memeluk
nilai-nilai kaum imperialis.

Pada imperialisasi kebudayaan, kaum imperialis berencana menguasai jiwa (de
geest) dari bangsa lain, karena dalam kebudayaan terletak jiwa suatu bangsa.
Jika kebudayaannya dapat diubah, maka berubahlah jiwa bangsa itu. Kaum
imperialis hendak melenyapkan kebudayaan suatu bangsa dan menggantikannya
dengan kebudayaan kaum imperialis, hingga jiwa bangsa jajahan itu menjadi sama
atau menjadi satu dengan jiwa si penjajah. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti
menguasai segala-galanya dari bangsa itu.

Imperialisme kebudayaan itu adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena
masuknya gampang, tidak terasa oleh yang akan dijajah dan jika berhasil sukar
sekali bangsa yang dijajah dapat membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak
sanggup lagi membebaskan diri.

Ada indikasi yang sangat kuat bahwa imperialisme budaya dewasa ini sedang
tumbuh dalam sastra Indonesia kontemporer, terutama melalui fiksi-fiksi
seksual-liberal karya para penulis terkini yang sebagian berasal dari Komunitas
Utan Kayu (KUK). Seks sebagai tema primer karya-karya mereka, terutama
karya-karya Ayu Utami, adalah "panser ideologi" yang dipaksakan masuk untuk
menumbuhkan imperialisme budaya itu.

Mereka telah mendewakan nilai-nilai estetis sebagai sebuah pencapaian karya
adiluhung, tanpa memperhitungkan nasionalisme dan moralitas generasi bangsa
ini. Betapa tidak, kebebasan membicarakan seks (gerakan-gerakan seks) yang
termaktub dalam karya-karya mereka hanya dimiliki oleh kebudayaan Barat. Sama
sekali tidak mencerminkan kepribadian Indonesia.
Kearifan lokal kita lebih menghormati hak individu dalam bersenggama dan lebih
halus pengungkapannya. Pembicaraan (konsultasi) seks dilakukan pada pihak
tertentu saja: suami-istri, dokter, konselor rumah tangga. Tidak diumbar
kemana-mana, apalagi dipublikasi secara luas lewat buku dan media massa.

Sebagai komunitas intelektual, KUK sebenarnya mampu menyerap sumber inspirasi
dari kebudayaan lokal, seks sekalipun. Tetapi, lewat karya-karya Ayu Utami, TUK
malah menyajikan seks ala Barat yang liberal dalam upaya menarik simpati
pemodal besar kaum imperalis. Seperti halnya Dante lewat karyanya, La Divina
Comedia, yang terinspirasi Isra Mi'raj nabi Muhammad (berisi penghinaan), kaum
imperialis telah menggunakan sastra dan film sebagai propaganda ideologi mereka.

Beragam politik kesenian pun mereka jalankan, seperti disinyalir dalam tulisan
Viddy A Daery (Gerakan Sastra Anti Neo-Liberalisme) bahwa KUK mendirikan
sanggar-sanggar sastra di berbagai daerah, sebagai bagian dari "gerakan politik
sastra" untuk liberalisasi. Dalam kaitan ini KUK juga berupaya merebut
kursi-kursi strategis di bidang sastra, seperti menguasai Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ).

Wowok Hesti Prabowo dan Maman S Mahayana malah meledek bahwa DKJ sekarang telah
menjadi cabang KUK. Ada kabar, DKJ tahun ini membantu dana besar untuk
pelaksanaan program rutin KUK, yakni Utan Kayu International Literary Biennale
2008, dengan mengorbankan program Komite Sastra DKJ sendiri.

Sementara, acara besar Pekan Presiden Penyair (PPP) yang pekan lalu
diselenggarakan oleh Yayasan Panggung Melayu (YPM) di TIM, sama sekali tidak
mendapat bantuan DKJ. Menurut ketua YPM Asrizal Nur, panitia PPP bahkan
cenderung dipersulit untuk menyewa tempat di TIM. Ketua Masyarakat Sastra
Jakarta, Slamet Rahardjo Rais, juga sempat mengeluhkan program Komite Sastra
DKJ yang tidak menyentuh komunitas sastra di Jakarta yang seharusnya menjadi
sasaran program DKJ. Kenyataannya, Komite Sastra DKJ periode ini memang hanya
mengadakan acara rutin kecil-kecilan, yakni Lampion Sastra, yang sesungguhnya
cukup dilaksanakan oleh sanggar sastra atau lembaga mahasiswa -- alias 'bukan
level' DKJ.

Saya rasa pendirian komunitas cabang KUK atau TUK di daerah-daerah juga adalah
skenario lain untuk merekrut penganut-penganut baru yang akan patuh pada
kehendak sang imperialis dalam mendikte kebutuhan sastra ke depan. Dan,
penguasaan posisi stategis dalam lembaga kesenian, disinyalir adalah upaya
untuk memperkuat finansial organisasi terkait dengan berkurangnya pasokan dana
dari luar (subsidi silang), dengan bukti kasus bantuan dana DKJ untuk biennale
KUK di atas.

Melalui novel dan esei-eseinya di X-Magazine, aktifis KUK Ayu Utami pun
mengumbar tubuhnya sendiri ke khalayak ramai tanpa rasa malu. Ini adalah
keprihatinan terdalam bagi kaum perempuan! Eksploitasi tubuh atas nama
eksplorasi estetis telah dijadikan tameng dalam memunculkan sastra gaya rambut
belah tengah -- sebuah feminisme sastra liberal yang menyesatkan!
Terkadang rasa penasaran menghinggapi tatkala melihat sepak terjang para
perempuan yang tak segan-segan memperagakan gerakan seks mereka sendiri lewat
kata. Jadi, apa perbedaan fiksi-fiksi seksual mereka dengan layanan seks
premium call 0809? Apakah mereka merasa lebih berderajat karena berada di jalur
sastra?

Memang, fiksi seksual tidak hanya ditulis oleh orang-orang KUK, tapi juga
penulis di luar KUK, seperti Dinar Rahayu, Djenar Maesa Ayu, Hudan Hidayat dan
Mariana Amirudin, serta Henny Purnamasari. Namun, karya-karya mereka muncul
setelah novel Saman karya Ayu Utami mendapat sambutan banyak kalangan dan laris
di pasaran.

Keteguhan seorang Jane Austen menggali peristiwa lokal sebagai sumber
inspirasinya patut digugu dan ditiru, bagaimana dia konsisten mewartakan lewat
sastra perihal kehidupan perempuan di masanya yang menjadi korban pergerakan
industri. Walaupun banyak dicemooh kalangan kritikus sastra karena tidak peka
dengan sejarah besar 'revolusi industri', siapa sangka karya-karyanya abadi,
dan bahkan banyak menjadi bahan telaah. Seperti yang diakui oleh Edward W Said,
dalam Mansfield Park Jane, tidak buta-buta amat akan kondisi sosial politik
yang kental kritik terhadap imperialisme.
Proses kekaryaan Jane mengajarkan pada kita bahwa keabadian karya bukan dilihat
dari isu hangat apa yang akan melambungkan popularitas, yang sifatnya
sementara. Melainkan keteguhan hati dalam mewartakan apa yang menjadi tuntutan
rakyat pada masanya.

Substansi dari peran kaum intelektual adalah membongkar hegemoni! Hampir semua
cendekiawan tempo dulu adalah hasil dari didikan penjajah, tetapi mereka
berhasil menempatkan diri agar tidak terjerat menjadi 'intelektual bayaran'
yang bisa disetir oleh penjajah. Tapi, ternyata kondisi ideal itu tak berlaku
lagi di saat sekarang, semua serba pragmatis dan pesimistis. Kesusateraan
Indonesia digadaikan hanya karena keinginan sebuah komunitas untuk menjadi
jaya, untuk menjadi yang terbesar.

Legitimasi semu sastra yang ditawarkan pihak pendukung hegemoni atau
sentralisasi sastra hanyalah permen yang bisa menghancurkan gigi kesusasteraan
Indonesia. Sudah cukup sastra kita didikte oleh satu komunitas atau lembaga
kesenian dalam menentukan kebutuhan pasar sastra Indonesia ke depan. Adalah
kebodohan jika kita tahu kondisi (permasalahan) lingkungan kita tapi kita
sendiri tidak bergerak!

Karena itu, sudah saatnya para sastrawan Indonesia menabuh genderang perang
untuk melawan sastra imperialis-liberalis dalam segala bentuknya. Hentikan
praktek prostitusi kebudayaan yang akan menelan nasionalisme dan moral kita!
Saatnya bergerak dengan apa yang kita bisa! ( )

Kebebasan Berekspresi
Polemik Tanpa Akhir

Oleh Rieni Dwinanda
(Republika, Minggu, 22 Juli 2007)

Kebebasan. Itulah yang tengah dirisaukan oleh penggerak Memo Indonesia. Mereka
gusar lantaran kebebasan berekspresinya diusik.
Adalah Mariana Amiruddin, Hudan Hidayat, Rocky Gerung, dan Fadjroel Rachman,
yang menyampaikan Memo Indonesia, pekan lalu (12/7). Ini merupakan pernyataan
orang-orang seide yang menganggap setiap upaya atas dasar moral, nilai-nilai,
atau kekuasaan yang hendak membelenggu kebebasan adalah menghambat kemajuan.

''Kami adalah manusia bebas. Berdaulat atas jiwa dan raga kami. Untuk mencipta
kemanusiaan kami sendiri, dalam kebebasan penciptaan tanpa penjajahan,''
demikian petikan Memo Indonesia. Apa gerangan yang memicu Memo Indonesia
digulirkan? ''Ini gara-gara pidato kebudayaan Taufiq Ismail yang menyebut
sastra yang ditulis generasi muda sebagai sastra mazhab selangkangan (SMS) atau
fiksi alat kelamin (FAK),'' jelas Fadjroel, aktivis, penyair, sekaligus esais.

Fadjroel punya alasan ikut mendukung Memo Indonesia. Kini, ia tengah
merampungkan novel dengan genre serupa. ''Supaya, begitu terbit, saya sudah
punya teman,'' akunya. Pada 20 Desember 2006, Taufiq menyampaikan pidato
kebudayaan di Akademi Jakarta dengan tajuk Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan
Syahwat Merdeka. Budayawan tersebut menyorot kecenderungan penulis fiksi
akhir-akhir ini yang dianggapnya suka mencabul-cabulkan karya. ''Budaya malu
bangsa kita telah dikikis habis oleh Gerakan Syahwat Merdeka,'' katanya. Taufiq
mengatakan ada lebih dari lima aktivis yang melakoninya. Para penulis tersebut
disinyalir Taufiq mengusung paham neo-liberalisme dan menjadi bagian dari
Gerakan Syahwat Merdeka yang mendapat angin sejak masa reformasi 1997 di
Indonesia.

Genre sastra yang dikecam oleh Taufiq itu dicurigai memiliki kaitan erat dengan
11 komponen lain Gerakan Syahwat Merdeka, seperti pabrikan racun nikotin, VCD
biru, situs internet porno, penikmat narkoba, dan produsen TV mesum. ''Saya
ingin budaya malu kembali ke seluruh jalur kehidupan bangsa kita,'' harapnya.

Fadjroel sempat menyebut genderang yang ditabuh Taufiq sebagai penyulut perang
antargenerasi. Tapi, karena tak mungkin menggeneralisasi generasi, ia kemudian
meralatnya. ''Kekuatan sosial konservatif tengah beradu dengan kuasa
progresif,'' katanya. Tentang bagian-bagian tubuh paling pribadi yang diangkat
ke dalam karya sastra, Hudan Hidayat berpendapat hal itu sah-sah saja. Ia
sempat melakukan test case terhadap sejumlah anak muda dan orang tua dengan
membagikan buku-buku sastra tersebut. ''Ternyata, mereka nyaman saja
membacanya,'' katanya.

Hudan yakin masyarakat punya ukuran sendiri-sendiri dalam menilai sesuatu.
''Taufiq tak boleh menghakimi dan memberi cap tertentu terhadap karya sastra
tertentu. Dia bukan kritikus sastra,'' imbuhnya. Sejak debat sastra antara
Taufiq dengan kelompok Memo Indonesia mencuat, sastra kemudian menjadi
perbincangan banyak orang. Bahkan, orang yang tak begitu sering membaca bisa
angkat bicara menanggapi serta menambah sengit 'perang' ini. Terlebih, karena
nilai moral yang menjadi pertaruhannya.

Kedua kubu itu lantas beradu pendapat lewat kolom-kolom di media massa dan
kanal pribadi. Seperti hendak berbalas pantun, satu argumen disusul dengan
gagasan lain yang hendak menjawab. Meski begitu, Taufiq tetap pada
pendiriannya. ''Kerisauan utama saya tidak direspon langsung. Memo Indonesia
telah membelokkan persoalan dari esensi pidato kebudayaan saya,'' sesal Taufiq.

Namun, kritikus sastra Maman S Mahayana melihat polemik yang melibatkan
beberapa sastrawan saja itu tak lebih sebagai wacana belaka. Dosen sastra
Universitas Indonesia (UI) ini menilai terlalu jauh jika mengaitkan apa yang
disampaikan Taufiq dengan prakondisi disahkannya Rancangan Undang-undang
Anti-Pornografi dan Pornoaksi seperti yang dipercaya Fadjroel. ''Kalau tidak
setuju, jawab saja lewat karya sastra. Jangan cuma berwacana,'' sarannya.

Setiap orang, lanjut Maman, berhak untuk menilai karya sastra. Penilaian
terhadap karya sastra bukan monopoli kritikus. Tak perlu menjadi anggota kelas
masyarakat tertentu pula untuk dapat menyuarakan pendapatnya tentang karya
sastra. Mereka akan menilai berdasarkan standar norma yang tentu beragam sesuai
dengan pemahamannya. ''Siapa saja boleh berbicara, asal tidak memberangus hak
orang lain.''

Maman dapat memahami kegusaran Taufiq atas kondisi moral bangsa. Apalagi,
kenyataan kehancuran moral yang terjadi di masyarakat jauh lebih gawat
ketimbang yang telah tertulis dalam novel atau cerpen. ''Kenyataannya jauh
lebih mengerikan,'' katanya.

Maman sepakat sastrawan bebas mengekspresikan dirinya lewat karya sastra. Hanya
saja, mereka harus ingat, karya sastra bisa multitafsir. ''Penafsirannya amat
tergantung pada pengalaman, pendidikan, ataupun ideologi pembacanya,'' ujarnya.

Saat buku karya sastra dilepas ke publik, bisa sampai ke tangan siapa saja.
Terlebih, pasar Indonesia tidak sesigap negara lain dalam melindungi pembaca.
"Taufiq hanya berusaha mengetuk kesadaran penulis agar bertutur dengan bahasa
yang tidak vulgar,'' kata Maman.

Kondisi pasar yang tak siap tadi, tambah Maman, sejatinya menghadirkan
tantangan tersendiri bagi penulis. Mereka diajak untuk menjajal kemampuan
mengeksplorasi kata hingga menghasilkan karya populer. ''Penulis sebetulnya
dapat menghasilkan karya yang lebih tinggi nilai sastranya jika mengemas
tulisannya menjadi indah dengan menggunakan bahasa simbolik.''
Menurut Maman, cara NH Dini, Motinggo Busye, dan Ratih Kumala bertutur soal
adegan ranjang bisa menjadi contoh baik cara membincangkan seks di hadapan
publik pembaca. Tanpa kata-kata yang vulgar, pembaca tetap mengerti tokoh yang
diceritakan sedang berhubungan intim. ''Karya sastra bukan buku pelajaran seks.
Juga bukan bukan stensilan esek-esek pinggir jalan. Jadi, tidak perlu vulgar
dalam menggambarkan adegan seks,'' katanya.

Meskipun begitu, Maman mengingatkan agar kedua pihak tetap berwacana secara
sehat tanpa harus saling memberangus, agar kebenaran yang dicari dapat hadir
secara jernih tanpa dilumuri kemarahan dan kebencian.

(reiny dwinanda).

KONSUMSI ANAK DALAM TEKS SASTRA

MAKALAH
KONSUMSI ANAK DALAM TEKS SASTRA
DI SEKOLAH
Oleh
Edi Puryanto, S.Pd.
Disajikan dalam
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX
Himpunan SarjanaKesusastraan Indonesia (HISKI)
Malang, 12-14 Agustus 2008
Hotel Asida
Jln. Panglima Sudirman 99
Tlp. (0341) 592988 Batu
Edi Puryanto-Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / HISKI halaman 2 dari 8
Batu, 12-14 Agustus 2008
KONSUMSI ANAK DALAM TEKS SASTRA
DI SEKOLAH
Edi Puryanto
Pendahuluan
Karya sastra merupakan refleksi dari kehidupan nyata sebagai hasil renungan
dari realita kehidupan yang dilihat. Sastra mengandung eksplorasi mengenai kebenaran
kemanusiaan. Sastra juga menawarkan berbagai bentuk kisah yang merangsang
pembaca untuk berbuat sesuatu. Apalagi pembacanya adalah anak-anak yang
fantasinya baru berkembang dan menerima segala macam cerita terlepas dari cerita itu
masuk akal atau tidak. Sebagai karya sastra tentulah berusaha menyampaikan nilainilai
kemanusiaan, mempertahankan, serta menyebarluaskannya termasuk kepada
anak-anak. Sesuai dengan sasaran pembacanya, sastra anak dituntut untuk dikemas
dalam bentuk yang berbeda dari sastra orang dewasa hingga dapat diterima anak
dan dipahami mereka dengan baik. Sastra anak merupakan pembayangan / pelukisan
kehidupan anak yang imajinatif ke dalam bentuk struktur bahasa anak. Sastra anak
merupakan sastra yang ditujukan untuk anak, bukan sastra tentang anak. Sastra
tentang anak bisa saja isinya tidak sesuai untuk anak-anak, tetapi sastra untuk anak
sudah tentu sengaja dan disesuaikan untuk anak-anak selaku pembacanya.
Dalam perkembangan dan pembentukan kepribadian, anak memerlukan
segala informasi tentang dunia, tentang segala sesuatu yang ada dan terjadi di
sekelilingnya. Anak juga ingin mengetahui berbagai informasi tentang apa saja yang
dijangkau pikiranya. Informasi yang diperlukan dapat diperoleh dari berbagai
sumber, seperti media cetak, media elektronika, dan buku bacaan, termasuk bacaan
sastra. Namun, dalam usia yang masih sangat muda anak masih belum dapat
memilih dan memilah bacaan sastra yang baik. Anak akan membaca apa saja bacaan
yang ditemui dan menarik bagi dirinya., tak peduli sesuai atau tidak untuknya.
Bacaan yang dikonsumsi anak tentu akan berpengaruh pada perkembangan sikap,
mental, dan perilaku anak yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya
anak akan meniru dari apa yang dilihat atau apa yang dibacanya.
Teks Sastra yang Dikonsumsi Anak
Perkembangan anak akan berjalan wajar dan sesuai dengan periodenya bila
disugui bahan bacaan yang sesuai pula. Pembelajaran sastra di sekolah diarahkan
dengan menyajikan sastra yang memang sesuai dengan perkembangan kepribadian
anak.Artinya sastra anak yang memang layak dikonsumsi bagi anak-anak. Sastra
yang akan dikonsumsikan bagi anak harus mengandung tema yang mendidik,
alurnya lurus dan tidak berbelit-belit, menggunakan setting yang ada di sekitar
mereka atau ada di dunia mereka, tokoh dan penokohan mengandung peneladanan
Edi Puryanto-Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / HISKI halaman 3 dari 8
Batu, 12-14 Agustus 2008
yang baik, gaya bahasanya mudah dipahami tapi mampu mengembangkan bahasa
anak, sudut pandang orang yang tepat, dan imajinasi masih dalam jangkauan anak.
Sarumpaet mengatakan persoalan-persoalan yang menyangkut masalah seks,
cinta yang erotis, kebencian, kekerasan dan prasangka, serta masalah hidup mati tidak
didapati sebagai tema dalam bacaan anak. Begitu pula pembicaraan mengenai
perceraian, penggunaan obat terlarang, ataupun perkosaan merupakan hal yang
dihindari dalam bacaan anak. Artinya, tema-tema yang disebut tidaklah perlu
dikonsumsi oleh anak. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, tema-tema
bacaan anak pun berkembang dan semakin bervariasi. Jenis-jenis bacaan anak
misalnya, pada sepuluh tahun yang lalu sangat sedikit (atau bahkan tidak ada), sangat
mungkin telah hadir sebagai bacaan yang populer tahun-tahun belakangan ini.
Sastra yang dikonsumsi anak secara umum dapat berupa cerita maupun
paparan puisi. Ditinjau dari sasaran pembacanya, sastra anak dapat dibedakan antara
sastra anak untuk sasaran pembaca kelas awal, menengah, dan kelas akhir atau kelas
tinggi. Sastra anak secara umum meliputi (1) buku bergambar, (2) cerita rakyat, baik
berupa cerita binatang, dongeng, legenda, maupun mite, (3) fiksi sejarah, (4) fiksi
realistik, (5) fiksi ilmiah, (6) cerita fantasi, dan (7) biografi. Selain berupa cerita,
sastra anak juga berupa puisi yang lebih banyak menggambarkan keindahan paduan
bunyi kebahasaan, pilihan kata dan ungkapan, sementara isinya berupa ungkapan
perasaan, gagasan, penggambaran obyek ataupun peristiwa yang sesuai dengan
tingkat perkembangan anak. (Saryono :20)
Untuk mengetahui teks sastra yang sesuai perlu mempertimbangkan
kesesuaiannya bagi tingkat perkembangan kognitif, tingkat perkembangan bahasa,
maupun tingkat perkembangan moral anak. Untuk memahami apakah teks sastra
untuk anak telah sesuai dengan tingkat perkembangan anak yang perlu
memperhatikan (1) format buku, (2) cara penulisan, (3) penyajian, (4) bahasa yang
digunakan, dan (5) isi bacaan.
Format buku pada teks sastra ditulis dalam format kuarto. Sebab itulah bacaan
sastra untuk anak usia tersebut biasa disebut sebagai big books atau buku besar.
Istilah besar selain mengacu pada format bukunya juga mengacu pada tulisan
maupun gambar yang disajikan. Sajian tulisan dan gambar itu pun digarap secara
berimbang, bahkan biasanya sajian gambarnyalah yang lebih kuat.
Cara penyajiannya selain mempertimbangkan ukuran huruf dan kemudahan
identifikasi huruf bagi anak kelas awal SD, kekayaan gambar, juga memperhatikan
penggarapan aneka warna dalam bentuk sajian gambar yang hidup dan menarik.
Ditinjau dari bahasa yang digunakan (1) kata-kata yang digunakan acuan maknanya
bersifat konkret, (2) kata-kata yang digunakan dapat membentuk paduan bunyi
sehingga secara lisan menarik dan enak untuk dibaca, (3) tidak menggunakan kalimat
komplek, dan (4) penanda hubungan kalimat yang satu dan yang lain tertampil secara
eksplisit. Dalam hal ini, kata maupun kalimat yang digunakan secara jelas juga
menunjukkan pertalian dengan gambar yang disajikan. Melalui cara demikian proses
memahami ujaran kebahasaan tersebut terbantu lewat gambar yang disajikan.
Edi Puryanto-Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / HISKI halaman 4 dari 8
Batu, 12-14 Agustus 2008
Dilihat dari isinya, apabila teks sastra anak itu berupa cerita, cerita tersebut
hanya didukung oleh sekitar 2 atau 3 pelaku. Peristiwa ataupun cerita yang
digambarkannya juga sederhana dan jelas karena hanya berfokus pada satu peristiwa.
Peristiwa itu pun dikembangkan menuju klimaks dan penyelesaian yang menyenangkan
anak. Dilihat dari nilai fungsionalnya, pada jenjang kelas awal SD penggunaan
bacaan sastra anak dapat dimanfaatkan untuk (1) mengembangkan daya imajinasi, (2)
pemahaman perbedaan bentuk, warna, jumlah, dan ukuran, (3) membangkitkan
pemahaman tentang benda atau kenyataan tertentu, serta (4) membangkitkan
kesadaran tentang kesehatan, kebersihan, bersikap pada orang lain dengan acuanacuan
yang bersifat konkret.
Masa anak-anak (4-7 tahun) merupakan periode terpenting bagi pembentukan
pribadi anak. Pada masa itu anak membutuhkan kematangan emosi, fantasi atau
imajinasi. Dalam berfantasi mereka kadang-kadang melambung terlalu tinggi dan
jauh dari alam nyata. Atas dasar fantasi tersebut anak-anak menggemari dongeng
atau cerita yang penuh keajaiban, kesaktian, jagoan dan petualangan para tokoh.
Misalnya, dalam cerita film Doremon, Kapten Tsubasa, Saras Pembela Kebenaran
dan lain-lain. Berdasarkan perkembangan usia, anak sudah dapat menerima dan
merasakan intisari sastra. Dengan kecerdasan otaknya, anak-anak sangat peka
terhadap keindahan, dendang lagu, dan sejumlah syair yang selaras dengan dunianya.
Mereka sangat mudah menghafal syair lagu anak-anak.Misalnya Pelangi-pelangi,
Lihat kebunku, Kasih Ibu kepada Beta, Naik Delman dan lain-lain. Kemudahan
dalam menghafal syair lagu, walaupun masih sangat polos sering membuat pihak
lain menjadi terhibur. Perhatikan syair lagu Kasih ibu berikut:
Kasih Ibu
kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi
Tak harap kembali
Bagai sang surya Menyinari dunia
Anak-anak pada umumnya dapat menangkap isi cerita yang yang dikisahkan
oleh gurunya. Teks sastra yang sangat disenangi mengandung cerita lucu, puisi
humor, dan sangat sederhana yang mudah dipahami.
Pada usia Sekolah Dasar (7-13 tahun) selain mendengarkan cerita , anak-anak
pada umumnya sudah dapat membaca. Mereka termasuk pengamat yang teliti dan
serius terhadap dunianya yang sudah dapat berpikir relistis dan mulai senang menilai
baik dan buruk terhadap lingkungan sekitarnya. Anak pada usia ini sudah mulai
terbuka pikiranya, terbuka bakat dan minatnya, ingin tahu seluk beluknya, dan mulai
ingin menelaah segala ilmu pengetahuan, serta ingin mencoba berpetualang. Pada
Kelas tinggi di SD mulailah anak merindukan atau mengidolakan sesuatu. Sehingga
Edi Puryanto-Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / HISKI halaman 5 dari 8
Batu, 12-14 Agustus 2008
mereka menggunakan kata-kata mutiara, tutur kata yang indah, senang membuat
catatan harian, dan mulai bermain-main dengan kata indah. Dorongan jiwanya yang
lebih maju untuk mengetahui realitas, membuat mereka dibanjiri berbagai pengaruh
yang ada disekelilingnya.. Oleh karena itu itu Teks sastra yang dapat dikonsumsi
untuk usia yang demikian ini harus kontekstual dan tidak menggurui. Artinya teks
tersebut harus terfokus pada substansi anak, yang meliputi (1) pengalaman jiwa anak
yang terbatas (pada umumnya lebih menyukai fabel, cerita tentang binatang,
tumbuhan, alam, dan cuaca; penguasaan kosakata yang masih terbatas; dan cerita
sederhana, tidak terlalu panjang, dan alur yang lurus), (2) perlu diberi karya-karya
yang bersangkut paut dengan kekeluargaan, dan (3) tema cerita yang dapat
mengembangkan imajinasi anak dengan gaya bercerita segar dan menarik serta
tokohnya dapat memberi suri teladan yang baik. (Santosa, dkk :2004). Perhatikan
Cerita 25 Nabi berikut ini:
Kisah Nabi Nuh
Setelah Nabi Nuh menerima wahyu kenabian, kemudin nabi Nuh mengajak
kepada perngikutnya untuk menyembah dan mengakui keesaan Tuhan. Dakwah
nabi nuh sangat sabar dan tenang selama 5 abad. Namun, Pengikut nabi Nuh
hanya sedikit kurang dari seratus orang. Sampai pada waktunya Tuhan murka
dengan mendatangkan banjir. Akhirnya umat nabi Nuh tenggelam termasuk
anaknya Kan an anaknya. Kecuali Nabi Nuh dan pengikut yang telah membuat
kapal sehingga diselamatkan oleh Tuhan.
Kisah Nabi Zulkifli Memenangkan Sayembara
Seorang raja tua yang sangat bijaksana mengadakan sayembara. Barang siapa
sanggup berpuasa di siang hari serta beribadah di malam hari akan diangkat
menjadi penggantinya. Tak ada seorang pun yang bisa melakukannya kecuali
Nabi Zulkifli. Akhirnya Nabi Zulkifli diangkat menjadi raja.
Kisah Nabi Sulaiman
Nabi Sulaiman adalah putra Nabi Daud. Sejak usia muda sudah nampak
kecerdasan dan kebijaksaanan. Beberapa keistimewaan nabi sulaiman ialah bisa
berbicara dengan binatang, menguasai jin dan setan. Sedangkan angin menjadi
kendaraanya yang mealju cepat. Karena Ketaatan dan kesalehannya kepada
Tuhan apapun yang diminta dikabulkannya oleh Tuhan.Nabi Sulaiman memiliki
kerajaan besar dan kaya raya.
Dari ketiga cerita yang dikutip dari buku Kisah 25 Nabi maka dapat
disimpulkan bahwa cerita rakyat yang dapat dikomsumsi anak-anak adalah
(1)mengandung kata kunci yang bisa diingat oleh semua anak-anak, meski versinya
berbeda-beda. Misalnya: pada cerita tentang Nabi Nuh, kata kuncinya ialah Nabi nuh
yang sabar, Kapal yang menyelamatkan dan anak nabi Nuh yang durhaka.
(2) mengandung unsur keteladanan.
Edi Puryanto-Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / HISKI halaman 6 dari 8
Batu, 12-14 Agustus 2008
Perhatikan puisi yang menjadi juara I lomba penulisan puisi untuk presiden
karya Faiz berikut:
Jadi aku mengirim surat ini
Mau mengajak ibu menyamar.
Malam-malam kita bis pergi
ke tempat yang banyak orang
miskinnya.
Pakai baju robek dan jelek.
Muka dibuat kotor.
Kita dengar kesusahan rakyat.
Terus kita tolong.
Petikan puisi di atas menggambarkan bahwa anak-anak memiliki kepedulian
terhadap obyek yang terjadi ataupun peristiwa yang telah diamati disekelilingnya.
sesuai dengan tingkat perkembangan anak.. Isinya berupa ungkapan perasaan dan
ajakan untuk berempati kepada masyarakat kecil..
Kontribusi Sastra Anak
Sebagai bacaan yang dikonsumsi anak sastra anak diyakini mempunyai
kontribusi yang tidak sedikit bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses
menuju arah kedewasaan yang memiliki jatidiri yang jelas. Jatidiri seorang anak
dibentuk dan terbentuk lewat lingkungan yang diusahakan secara atau tidak sadar.
Lingkungan yang dimaksud amat luas ,termasuk didalamnya sastra, baik sastra lisan
yang diperoleh anak melalui tuturan maupun sastra tulis yang diperoleh melalui
bacaan. Sastra yang dikonsumsi anak mampu digunakan sebagai salah satu sarana
untuk menanam, memupuk, mengembangkan, dan bahkan melestarikan nilai-nilai
yang baik dan berharga oleh keluarga , masyarakat, dan bangsa.
Pewarisan nilai-nilai yang baik akan dapat bertahan apabila telah tertanam
sejak anak masih kecil, dapat dilakukan ketika anak belum berbicara dan membaca.
Misalnya dengan nyanyian yang didendangkan orang tua untuk membujuk si kecil
agar segera tidur, untuk menghibur dan menyenangkan. Tentunya sastra semacam ini
mengandung nilai yang berpengaruh bagi perkembangan kejiwaan bagi anak,
misalnya nilai kasih sayang, perhatian dan keindahan. Perkembangan anak tidak
akan wajar manakala tidak didukung kasih sayang dan perhatian . Nilai keindahan
dalam nyanyian membangkitkan potensi anak untuk mengembangkan nilai seni
pada dirinya, baik dalam pengertian menikmati maupun berekspresi. Pada awal
perkembangan anak maka orang tualah yang mula-mula membangkitkan potensi,
mengolah jiwa, dan mengajak menikmati keindahan sastra.
Sastra yang dikonsumsi anak memiliki kontribusi yang banyak, Saxby
(dalam Nurgiantoro, 2005 :36) mengemukakan bahwa kontribusi sastra anak
membentang dari dukungan terhadap pertumbuhan berbagai pengalaman (rasa,
emosi, bahasa, personal (kognitif, sosial, etis, spiritual), eksplorasi dan penemuan,
Edi Puryanto-Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / HISKI halaman 7 dari 8
Batu, 12-14 Agustus 2008
naum juga petualangan dalam kenikmatan. Sementara itu Huck dkk. (1987)
mengemukakan bahwa nilai satra anak secara garis besar dapat dibedakan ke dalam
dua kelompok,yaitu nilai personal (personal value) dan nilai pendidikan (education
value) dengan masing-masing dapat dirinci menjadi subkategori.
Nurgiantoro(2005 :37) menguraian nilai personal meliputi perkembangan emosional,
perkembangan intelektual, perkembangan imajinasi, pertumbuhan rasa sosial,
pertumbuhan rasa etis dan religius. Sedangkan nilai pendidikan meliputi eksplorasi
dan penemuan, perkembangan bahasa, perkembangan nilai keindahan, penanaman
wawasan multikultural, dan penanaman kebiasaan membaca.
Penutup
Dalam pembelajaran sastra anak di sekolah, teks sastra, khususnya cerita
harus sesuai dengan perkembangan anak didik, dengan mempertimbangkan faktor
usia, keberagaman tema, keberagaman pengarang, dan isi cerita. Begitu pula dengan
puisi anak-anak. Puisi anak-anak bahasanya lugas dan sederhana. Tidak ada
kerumitan kiasan seperti puisi orang dewasa. Diksinya pun biasanya hanya sekedar
variasi dari sinonim kata.
Anak-anak sebagai mahluk yang polos sebaiknya tidak disuguhi tulisantulisan
atau tayangan-tayangan yang belum bisa mereka cerna dengan baik, atau
belum pantas untuk mereka. Dengan begitu perkembangan anak akan berjalan
sewajarnya dan sesuai dengan periodenya. Untuk itu sebagai orang tua hendaknya
dapat memilih dengan benar mana sastra anak yang sebenar-benarnya. Artinya sastra
anak yang memang diperuntukkan bagi anak-anak. Karena terlalu banyak orang tidak
bertanggung jawab yang memanfaatkan anak-anak sebagai konsumen mereka. Baik
melalui cerita anak, puisi, maupun drama (film). Untuk itu alangkah baiknya kita
mengetahui hakikat sastra anak dan ciri sastra anak itu sendiri. Secara garis besar, ciri
dan syarat sastra anak, yaitu:
1. Cerita anak mengandung tema yang mendidik, alurnya lurus dan tidak berbelitbelit,
menggunakan setting yang ada di sekitar mereka atau ada di dunia mereka,
tokoh dan penokohan mengandung peneladanan yang baik, gaya bahasanya
mudah dipahami tapi mampu mengembangkan bahasa anak, sudut pandang orang
yang tepat, dan imajinasi masih dalam jangkauan anak.
2. Puisi anak mengandung tema yang menyentuh, ritme yang meriangkan anak,
tidak terlalu panjang, ada rima dan bunyi yang serasi dan indah, serta isinya bisa
menambah wawasan pikiran anak.
Namun alangkah bijaknya jika sastra anak digunakan oleh guru dan orang tua
sebagai sarana mereka untuk mendidik, menghibur dan menjalin kedekatan emosi
dengan anak. Oleh karena itu, temanilah dan bimbinglah anak saat membaca,
mengapresiasi, mengkreasi karya.
Edi Puryanto-Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / HISKI halaman 8 dari 8
Batu, 12-14 Agustus 2008
Daftar Pustaka
Bobo. 2004. Profil: Abdurahman Faiz Kecil-kecil Jadi Penyair. Edisi ke XXXI Hal:
6-7.
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi. Yogyakarta:
Jalasutra.
Murtiningrum, dkk. 2004. Berbahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas 4.
Jakarta: Balai Pustaka.
Nurgiantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak; Pengantar Pemahaman Dunia Anak.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rahimsyah, MB. Kisah Nyata 25 Nabi dan Rasul . Surabaya : Karya Ilmu.
Santosa, Puji, dkk. 2004. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD.Universitas
Terbuka
Saryono, Djoko. Pengertian dan Ciri Sastra Anak.
Sarumpaet, Riris K. Toha. 1975. Bacaan Anak-Anak; Suatu Penyelidikan
Pendahuluan ke dalam Hakekat, Sifat, dan Corak Bacaan Anak-anak serta
Minat Anak pada Bacaannya . Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
____________________(editor). 2002. Sastra Masuk Sekolah. Magelang:
IndonesiaTera.
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.