Minggu, 29 Maret 2009

Sastra Indonesia dalam Skenario Imperialisme

SASTRA INDONESIA DAN SKENARIO IMPERIALISME


Oleh: Mahdiduri

Penyair dan ketua KSI Banten
(Republika, Senin, 23 Juli 2007, hlm. A-8)

Nasionalisme humanis dibangun atas dasar prinsip, setiap bangsa mampu
memberikan sumbangan dalam menegakkan harkat dan martabat manusia, serta untuk
pengembangan nilai-nilai humanisme sesuai dengan karakteristik dan sifat-sifat
bangsa itu.

Tidak hanya paham kebebasan, keadilan dan kesetaraan, tetapi paham toleransi
adalah hal yang perlu mendapat perhatian dalam tata pergaulan internasional.
Nasionalisme yang berlandaskan pada toleransi tidak hanya dapat menciptakan
perdamaian dunia, tetapi dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Demikian gagasan nasionalisme humanis dari seorang Soekarno.

Pada saat ini nasionalisme bangsa kita tengah dirongrong oleh kekuatan besar
dari Barat yang kita kenal sebagai imperialisme. Kita telah didikte bagaimana
bernegara, begitu banyak kebijakan-kebijakan yang seharusnya berpihak pada
rakyat telah disulap menjadi keuntungan para pemodal besar.
Sejak kebijakan penanaman modal asing ditetapkan pada tahun 1967, segala sendi
kehidupan berbangsa menjadi incaran penjajahan mereka, tak terkecuali
kebudayaan. Kita telah diberi fatamorgana budaya yang membuat kita merasa
nyaman. Pada sektor budaya ada sebuah skenario besar yang sedang dijalankan
lewat agen-agen yang sengaja ditanamkan di negeri ini dengan memakai wajah
kesenian.

Dalam skenarionya, pihak imperialis menyadari bahwa saat ini sangat tidak
mungkin untuk memaksakan kehendak dengan jalan menginvasi sebuah negara lewat
militerisme (walaupun hal itu sedang dilakukan di wilayah Timur Tengah). Maka,
strateginya melalui protectorate atau mandate dan targetnya adalah
menghancurkan tatanan politik, sosial, dan moral rakyat, agar memeluk
nilai-nilai kaum imperialis.

Pada imperialisasi kebudayaan, kaum imperialis berencana menguasai jiwa (de
geest) dari bangsa lain, karena dalam kebudayaan terletak jiwa suatu bangsa.
Jika kebudayaannya dapat diubah, maka berubahlah jiwa bangsa itu. Kaum
imperialis hendak melenyapkan kebudayaan suatu bangsa dan menggantikannya
dengan kebudayaan kaum imperialis, hingga jiwa bangsa jajahan itu menjadi sama
atau menjadi satu dengan jiwa si penjajah. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti
menguasai segala-galanya dari bangsa itu.

Imperialisme kebudayaan itu adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena
masuknya gampang, tidak terasa oleh yang akan dijajah dan jika berhasil sukar
sekali bangsa yang dijajah dapat membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak
sanggup lagi membebaskan diri.

Ada indikasi yang sangat kuat bahwa imperialisme budaya dewasa ini sedang
tumbuh dalam sastra Indonesia kontemporer, terutama melalui fiksi-fiksi
seksual-liberal karya para penulis terkini yang sebagian berasal dari Komunitas
Utan Kayu (KUK). Seks sebagai tema primer karya-karya mereka, terutama
karya-karya Ayu Utami, adalah "panser ideologi" yang dipaksakan masuk untuk
menumbuhkan imperialisme budaya itu.

Mereka telah mendewakan nilai-nilai estetis sebagai sebuah pencapaian karya
adiluhung, tanpa memperhitungkan nasionalisme dan moralitas generasi bangsa
ini. Betapa tidak, kebebasan membicarakan seks (gerakan-gerakan seks) yang
termaktub dalam karya-karya mereka hanya dimiliki oleh kebudayaan Barat. Sama
sekali tidak mencerminkan kepribadian Indonesia.
Kearifan lokal kita lebih menghormati hak individu dalam bersenggama dan lebih
halus pengungkapannya. Pembicaraan (konsultasi) seks dilakukan pada pihak
tertentu saja: suami-istri, dokter, konselor rumah tangga. Tidak diumbar
kemana-mana, apalagi dipublikasi secara luas lewat buku dan media massa.

Sebagai komunitas intelektual, KUK sebenarnya mampu menyerap sumber inspirasi
dari kebudayaan lokal, seks sekalipun. Tetapi, lewat karya-karya Ayu Utami, TUK
malah menyajikan seks ala Barat yang liberal dalam upaya menarik simpati
pemodal besar kaum imperalis. Seperti halnya Dante lewat karyanya, La Divina
Comedia, yang terinspirasi Isra Mi'raj nabi Muhammad (berisi penghinaan), kaum
imperialis telah menggunakan sastra dan film sebagai propaganda ideologi mereka.

Beragam politik kesenian pun mereka jalankan, seperti disinyalir dalam tulisan
Viddy A Daery (Gerakan Sastra Anti Neo-Liberalisme) bahwa KUK mendirikan
sanggar-sanggar sastra di berbagai daerah, sebagai bagian dari "gerakan politik
sastra" untuk liberalisasi. Dalam kaitan ini KUK juga berupaya merebut
kursi-kursi strategis di bidang sastra, seperti menguasai Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ).

Wowok Hesti Prabowo dan Maman S Mahayana malah meledek bahwa DKJ sekarang telah
menjadi cabang KUK. Ada kabar, DKJ tahun ini membantu dana besar untuk
pelaksanaan program rutin KUK, yakni Utan Kayu International Literary Biennale
2008, dengan mengorbankan program Komite Sastra DKJ sendiri.

Sementara, acara besar Pekan Presiden Penyair (PPP) yang pekan lalu
diselenggarakan oleh Yayasan Panggung Melayu (YPM) di TIM, sama sekali tidak
mendapat bantuan DKJ. Menurut ketua YPM Asrizal Nur, panitia PPP bahkan
cenderung dipersulit untuk menyewa tempat di TIM. Ketua Masyarakat Sastra
Jakarta, Slamet Rahardjo Rais, juga sempat mengeluhkan program Komite Sastra
DKJ yang tidak menyentuh komunitas sastra di Jakarta yang seharusnya menjadi
sasaran program DKJ. Kenyataannya, Komite Sastra DKJ periode ini memang hanya
mengadakan acara rutin kecil-kecilan, yakni Lampion Sastra, yang sesungguhnya
cukup dilaksanakan oleh sanggar sastra atau lembaga mahasiswa -- alias 'bukan
level' DKJ.

Saya rasa pendirian komunitas cabang KUK atau TUK di daerah-daerah juga adalah
skenario lain untuk merekrut penganut-penganut baru yang akan patuh pada
kehendak sang imperialis dalam mendikte kebutuhan sastra ke depan. Dan,
penguasaan posisi stategis dalam lembaga kesenian, disinyalir adalah upaya
untuk memperkuat finansial organisasi terkait dengan berkurangnya pasokan dana
dari luar (subsidi silang), dengan bukti kasus bantuan dana DKJ untuk biennale
KUK di atas.

Melalui novel dan esei-eseinya di X-Magazine, aktifis KUK Ayu Utami pun
mengumbar tubuhnya sendiri ke khalayak ramai tanpa rasa malu. Ini adalah
keprihatinan terdalam bagi kaum perempuan! Eksploitasi tubuh atas nama
eksplorasi estetis telah dijadikan tameng dalam memunculkan sastra gaya rambut
belah tengah -- sebuah feminisme sastra liberal yang menyesatkan!
Terkadang rasa penasaran menghinggapi tatkala melihat sepak terjang para
perempuan yang tak segan-segan memperagakan gerakan seks mereka sendiri lewat
kata. Jadi, apa perbedaan fiksi-fiksi seksual mereka dengan layanan seks
premium call 0809? Apakah mereka merasa lebih berderajat karena berada di jalur
sastra?

Memang, fiksi seksual tidak hanya ditulis oleh orang-orang KUK, tapi juga
penulis di luar KUK, seperti Dinar Rahayu, Djenar Maesa Ayu, Hudan Hidayat dan
Mariana Amirudin, serta Henny Purnamasari. Namun, karya-karya mereka muncul
setelah novel Saman karya Ayu Utami mendapat sambutan banyak kalangan dan laris
di pasaran.

Keteguhan seorang Jane Austen menggali peristiwa lokal sebagai sumber
inspirasinya patut digugu dan ditiru, bagaimana dia konsisten mewartakan lewat
sastra perihal kehidupan perempuan di masanya yang menjadi korban pergerakan
industri. Walaupun banyak dicemooh kalangan kritikus sastra karena tidak peka
dengan sejarah besar 'revolusi industri', siapa sangka karya-karyanya abadi,
dan bahkan banyak menjadi bahan telaah. Seperti yang diakui oleh Edward W Said,
dalam Mansfield Park Jane, tidak buta-buta amat akan kondisi sosial politik
yang kental kritik terhadap imperialisme.
Proses kekaryaan Jane mengajarkan pada kita bahwa keabadian karya bukan dilihat
dari isu hangat apa yang akan melambungkan popularitas, yang sifatnya
sementara. Melainkan keteguhan hati dalam mewartakan apa yang menjadi tuntutan
rakyat pada masanya.

Substansi dari peran kaum intelektual adalah membongkar hegemoni! Hampir semua
cendekiawan tempo dulu adalah hasil dari didikan penjajah, tetapi mereka
berhasil menempatkan diri agar tidak terjerat menjadi 'intelektual bayaran'
yang bisa disetir oleh penjajah. Tapi, ternyata kondisi ideal itu tak berlaku
lagi di saat sekarang, semua serba pragmatis dan pesimistis. Kesusateraan
Indonesia digadaikan hanya karena keinginan sebuah komunitas untuk menjadi
jaya, untuk menjadi yang terbesar.

Legitimasi semu sastra yang ditawarkan pihak pendukung hegemoni atau
sentralisasi sastra hanyalah permen yang bisa menghancurkan gigi kesusasteraan
Indonesia. Sudah cukup sastra kita didikte oleh satu komunitas atau lembaga
kesenian dalam menentukan kebutuhan pasar sastra Indonesia ke depan. Adalah
kebodohan jika kita tahu kondisi (permasalahan) lingkungan kita tapi kita
sendiri tidak bergerak!

Karena itu, sudah saatnya para sastrawan Indonesia menabuh genderang perang
untuk melawan sastra imperialis-liberalis dalam segala bentuknya. Hentikan
praktek prostitusi kebudayaan yang akan menelan nasionalisme dan moral kita!
Saatnya bergerak dengan apa yang kita bisa! ( )

Kebebasan Berekspresi
Polemik Tanpa Akhir

Oleh Rieni Dwinanda
(Republika, Minggu, 22 Juli 2007)

Kebebasan. Itulah yang tengah dirisaukan oleh penggerak Memo Indonesia. Mereka
gusar lantaran kebebasan berekspresinya diusik.
Adalah Mariana Amiruddin, Hudan Hidayat, Rocky Gerung, dan Fadjroel Rachman,
yang menyampaikan Memo Indonesia, pekan lalu (12/7). Ini merupakan pernyataan
orang-orang seide yang menganggap setiap upaya atas dasar moral, nilai-nilai,
atau kekuasaan yang hendak membelenggu kebebasan adalah menghambat kemajuan.

''Kami adalah manusia bebas. Berdaulat atas jiwa dan raga kami. Untuk mencipta
kemanusiaan kami sendiri, dalam kebebasan penciptaan tanpa penjajahan,''
demikian petikan Memo Indonesia. Apa gerangan yang memicu Memo Indonesia
digulirkan? ''Ini gara-gara pidato kebudayaan Taufiq Ismail yang menyebut
sastra yang ditulis generasi muda sebagai sastra mazhab selangkangan (SMS) atau
fiksi alat kelamin (FAK),'' jelas Fadjroel, aktivis, penyair, sekaligus esais.

Fadjroel punya alasan ikut mendukung Memo Indonesia. Kini, ia tengah
merampungkan novel dengan genre serupa. ''Supaya, begitu terbit, saya sudah
punya teman,'' akunya. Pada 20 Desember 2006, Taufiq menyampaikan pidato
kebudayaan di Akademi Jakarta dengan tajuk Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan
Syahwat Merdeka. Budayawan tersebut menyorot kecenderungan penulis fiksi
akhir-akhir ini yang dianggapnya suka mencabul-cabulkan karya. ''Budaya malu
bangsa kita telah dikikis habis oleh Gerakan Syahwat Merdeka,'' katanya. Taufiq
mengatakan ada lebih dari lima aktivis yang melakoninya. Para penulis tersebut
disinyalir Taufiq mengusung paham neo-liberalisme dan menjadi bagian dari
Gerakan Syahwat Merdeka yang mendapat angin sejak masa reformasi 1997 di
Indonesia.

Genre sastra yang dikecam oleh Taufiq itu dicurigai memiliki kaitan erat dengan
11 komponen lain Gerakan Syahwat Merdeka, seperti pabrikan racun nikotin, VCD
biru, situs internet porno, penikmat narkoba, dan produsen TV mesum. ''Saya
ingin budaya malu kembali ke seluruh jalur kehidupan bangsa kita,'' harapnya.

Fadjroel sempat menyebut genderang yang ditabuh Taufiq sebagai penyulut perang
antargenerasi. Tapi, karena tak mungkin menggeneralisasi generasi, ia kemudian
meralatnya. ''Kekuatan sosial konservatif tengah beradu dengan kuasa
progresif,'' katanya. Tentang bagian-bagian tubuh paling pribadi yang diangkat
ke dalam karya sastra, Hudan Hidayat berpendapat hal itu sah-sah saja. Ia
sempat melakukan test case terhadap sejumlah anak muda dan orang tua dengan
membagikan buku-buku sastra tersebut. ''Ternyata, mereka nyaman saja
membacanya,'' katanya.

Hudan yakin masyarakat punya ukuran sendiri-sendiri dalam menilai sesuatu.
''Taufiq tak boleh menghakimi dan memberi cap tertentu terhadap karya sastra
tertentu. Dia bukan kritikus sastra,'' imbuhnya. Sejak debat sastra antara
Taufiq dengan kelompok Memo Indonesia mencuat, sastra kemudian menjadi
perbincangan banyak orang. Bahkan, orang yang tak begitu sering membaca bisa
angkat bicara menanggapi serta menambah sengit 'perang' ini. Terlebih, karena
nilai moral yang menjadi pertaruhannya.

Kedua kubu itu lantas beradu pendapat lewat kolom-kolom di media massa dan
kanal pribadi. Seperti hendak berbalas pantun, satu argumen disusul dengan
gagasan lain yang hendak menjawab. Meski begitu, Taufiq tetap pada
pendiriannya. ''Kerisauan utama saya tidak direspon langsung. Memo Indonesia
telah membelokkan persoalan dari esensi pidato kebudayaan saya,'' sesal Taufiq.

Namun, kritikus sastra Maman S Mahayana melihat polemik yang melibatkan
beberapa sastrawan saja itu tak lebih sebagai wacana belaka. Dosen sastra
Universitas Indonesia (UI) ini menilai terlalu jauh jika mengaitkan apa yang
disampaikan Taufiq dengan prakondisi disahkannya Rancangan Undang-undang
Anti-Pornografi dan Pornoaksi seperti yang dipercaya Fadjroel. ''Kalau tidak
setuju, jawab saja lewat karya sastra. Jangan cuma berwacana,'' sarannya.

Setiap orang, lanjut Maman, berhak untuk menilai karya sastra. Penilaian
terhadap karya sastra bukan monopoli kritikus. Tak perlu menjadi anggota kelas
masyarakat tertentu pula untuk dapat menyuarakan pendapatnya tentang karya
sastra. Mereka akan menilai berdasarkan standar norma yang tentu beragam sesuai
dengan pemahamannya. ''Siapa saja boleh berbicara, asal tidak memberangus hak
orang lain.''

Maman dapat memahami kegusaran Taufiq atas kondisi moral bangsa. Apalagi,
kenyataan kehancuran moral yang terjadi di masyarakat jauh lebih gawat
ketimbang yang telah tertulis dalam novel atau cerpen. ''Kenyataannya jauh
lebih mengerikan,'' katanya.

Maman sepakat sastrawan bebas mengekspresikan dirinya lewat karya sastra. Hanya
saja, mereka harus ingat, karya sastra bisa multitafsir. ''Penafsirannya amat
tergantung pada pengalaman, pendidikan, ataupun ideologi pembacanya,'' ujarnya.

Saat buku karya sastra dilepas ke publik, bisa sampai ke tangan siapa saja.
Terlebih, pasar Indonesia tidak sesigap negara lain dalam melindungi pembaca.
"Taufiq hanya berusaha mengetuk kesadaran penulis agar bertutur dengan bahasa
yang tidak vulgar,'' kata Maman.

Kondisi pasar yang tak siap tadi, tambah Maman, sejatinya menghadirkan
tantangan tersendiri bagi penulis. Mereka diajak untuk menjajal kemampuan
mengeksplorasi kata hingga menghasilkan karya populer. ''Penulis sebetulnya
dapat menghasilkan karya yang lebih tinggi nilai sastranya jika mengemas
tulisannya menjadi indah dengan menggunakan bahasa simbolik.''
Menurut Maman, cara NH Dini, Motinggo Busye, dan Ratih Kumala bertutur soal
adegan ranjang bisa menjadi contoh baik cara membincangkan seks di hadapan
publik pembaca. Tanpa kata-kata yang vulgar, pembaca tetap mengerti tokoh yang
diceritakan sedang berhubungan intim. ''Karya sastra bukan buku pelajaran seks.
Juga bukan bukan stensilan esek-esek pinggir jalan. Jadi, tidak perlu vulgar
dalam menggambarkan adegan seks,'' katanya.

Meskipun begitu, Maman mengingatkan agar kedua pihak tetap berwacana secara
sehat tanpa harus saling memberangus, agar kebenaran yang dicari dapat hadir
secara jernih tanpa dilumuri kemarahan dan kebencian.

(reiny dwinanda).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar