Selasa, 31 Maret 2009

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI MELALUI PENDEKATAN

Rohmy Husniah-Yudhi Arifani ,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / hiski halaman 1 dari 12
Batu, 12-14 Agustus 2008
PENDIDIKAN BUDI PEKERTI MELALUI PENDEKATAN
MORAL DALAM PENGAJARAN SASTRA
Rohmy Husniah
Yudhi Arifani
Abstrak
Salah satu tujuan penyelenggraan pendidikan ialah untuk membentuk sikap
moral dan watak murid yang berbudi luhur. Oleh sebab itu diperlukan pendekatan
pendidikan dan mata pelajaran yang membantu membentuk kepribadian murid
menjadi kepribadian yang lebih baik dan bermoral.

Saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Jika
demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan pendidikan Indonesia
sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis, kurang toleran dalam
menghadapi perbedaan, dan korup. Selain pengajaran agama, salah satu pelajaran
yang mengajarkan budi pekerti ialah sastra.
Membaca sastra berarti mengenal berbagai karakter yang sebagian besar
merupakan refleksi dari realitas kehidupan. Dengan demikian, pembaca akan
memahami motif yang dilakukan setiap karakter baik yang protagonis maupun yang
antagonis sehingga pembaca dapat memahami alasan pelaku dalam setiap
perbuatannya.
Demikian pentingnya pengajaran sastra untuk membentuk moral yang berbudi
mulia maka Putu Wijaya menyatakan bahwa sastra harus dibelajarkan kepada semua
jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat
menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa (Wijaya, Putu. 2007).
Agar tujuan pembelajaran sastra tercapai maka diperlukan metode dan
pendekatan yang tepat untuk menyampaikannya dengan baik. Dalam makalah ini
akan diuraikan tentang bagaimana mengajar sastra dengan menggunakan pendekatan
moral karena pada hakikatnya membaca sastra ialah untuk mencapai katarsis, suatu
perasaan yang tenang dan lega, karena pembaca telah menemukan hakikat hidup dan
pesan moral dalam suatu karya sastra.
Key words: budi pekerti, moral, pendekatan moral, pengajaran sastra

1. Pendahuluan
Salah satu tujuan penyelenggraan pendidikan ialah untuk membentuk sikap
moral dan watak murid yang berbudi luhur. Dahulu para murid diberikan pelajaran
Budi Pekerti untuk mencapai tujuan tersebut. Namun sekarang pelajaran itu telah
ditiadakan karena pelajaran tersebut mungkin tidak banyak merubah kepribadian
murid menjadi kepribadian yang lebih baik dan bermoral.
Indonesia memiliki Pancasila dan nilai-nilai budaya yang luhur dan
menjunjung tinggi kerukunan dan tenggangrasa. Akan tetapi, di pihak lain Indonesia
juga merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia, dan
tingkat kerusuhan yang juga tinggi. Bangsa lain memandang Indonesia menjadi
negara yang tidak lagi aman untuk dikunjungi sehingga Indonesia pernah menjadi
negara yang dilarang untuk dikunjungi oleh salah satu negara besar di dunia. Negara
tersebut mengeluarkan travel warning bagi warga negaranya yang akan berkunjung ke
Indonesia.
Salah satu cara membentuk watak dan pribadi bangsa ialah dengan melalui
pendidikan. Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan
pendidikan Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis dan
korup. Selain pengajaran agama, salah satu pelajaran yang mengajarkan budi pekerti
ialah sastra.
Sastra menurut etimologinya adalah tulisan. Sedangkan kesusastraan
adalah segala tulisan yang indah.
Sastra dalam pemahaman saya, adalah segala bentuk ekspresi
dengan memakai bahasa sebagai basisnya....Bukan hanya apa yang
tertulis, apa yang tidak tertulis pun bisa masuk dalam sastra. Tidak
hanya yang su (indah), catatan-catatan, surat-surat, renungan, beritaberita,
apalagi cerita dan puisi, anekdot, graffiti, bahkan pidato, doa dan
pernyataan-pernyataan, apabila semuanya mengandung ekspresi, itu
adalah sastra. Wijaya (2007)
Dengan demikian maka sastra meliputi banyak hal. Sastra, menurut Putu Wijaya,
bukan hanya tulisan yang indah saja seperti yang terdapat dalam puisi, prosa, dan
drama, tetapi juga semua bentuk ekspresi yang menggunakan bahasa sebagai
medianya. Sedangkan dalam pengajaran yang lebih ditekankan ialah pengajaran sastra
dalam bentuk puisi, prosa, dan drama. Hal ini untuk membatasi lingkup materi,
namun tidak memungkinkan adanya peluang untuk mengajarkan sastra dalam bentuk
yang lainnya.
Sarjono (1998) mengatakan bahwa sastra dalam banyak hal memberi peluang
kepada pembaca untuk mengalami posisi orang lain, sebuah kegiatan berempati
kepada nasib dan situasi manusia lain. Membaca sastra berarti mengenal berbagai
karakter yang sebagian besar merupakan refleksi dari realitas kehidupan. Dengan
demikian, pembaca akan memahami motif yang dilakukan setiap karakter baik yang
protagonis maupun yang antagonis sehingga pembaca dapat memahami alasan pelaku
dalam setiap perbuatannya. Bahkan jika karakter tersebut adalah karakter yang tidak
ingin dijumpai oleh pembaca dalam kehidupan nyata karena kejahatannya, maka
dalam fiksi pembaca akan bertemu berbagai karakter sehingga pembaca mampu
memahami motif dan tujuan mereka tanpa resiko yang membahayakan pembaca.
Demikian pentingnya pengajaran sastra untuk membentuk moral yang berbudi
mulia maka Putu Wijaya menyatakan bahwa sastra harus dibelajarkan kepada semua
jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat
menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa (2007).
Namun pengajaran sastra belum banyak diminati baik oleh para murid maupun
mahasiswa. Sastra masih dirasakan sebagai mata pelajaran yang sulit dan kurang
bermanfaat karena banyak berimajinasi. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain
kapasitas pengajar yang tidak berlakang belakang pendidikan sastra sehingga
pengajar kurang memahami hakikat pengakjaran sastra, bahan bacaan sastra terutama
bahan teori sastra dan pengajaran sastra yang masih sangat terbatas, metode dan
teknik pengajaran sastra yang kurang tepat, dan lainnya.
Agar tujuan pembelajaran sastra tercapai maka diperlukan metode dan
pendekatan yang tepat untuk menyampaikannya dengan baik. Terdapat beberapa
pendekatan pengajaran sastra seperti pendekatan moral, estetika dan stilistika, resepsi,
hermeneutik dan lainnya. Pada dasarnya semua pendekatan tersebut adalah baik,
hanya perlu diperhatikan pendekatan mana yang paling dikuasai oleh seorang guru
sastra dan pendekatan mana yang paling sesuai dengan keadaan muridnya. Namun
dalam tulisan ini akan diuraikan tentang bagaimana mengajar sastra dengan
menggunakan pendekatan moral karena pada hakikatnya membaca sastra ialah untuk
mencapai katarsis, suatu perasaan yang tenang dan lega, karena pembaca telah
menemukan hakikat hidup dan pesan moral dalam suatu karya sastra. Oleh sebab itu
terdapat hubungan yang erat antara pengajaran sastra dengan pembentukan moral.
Beberapa penelitian dan penulisan essai tentang pengajaran sastra telah
dilakukan salah satunya oleh Dharmojo (1997) menuliskan essai tentang model
pembelajaran sastra dengan judul Critical Discourse Analysis (CDA) sebagai Model
Pembelajaran Sastra.astra karena beliau merasa prihatin dengan tujuan pendidikan
Indonesia untuk membentuk moral bangsa yang belum tercapai. Esai tersebut
mengungkapkan bahwa berhasil atau tidaknya pengajaran sastra dipengaruhi oleh
beberapa hal: kurikulum, sarana prasarana, minat baca murid, dan iklim bersastra
pada umumnya. Oleh sebab itu, esai tersebut mengenalkan CDA atau analisis wacana
kritis agar para murid diharapkan terbiasa bersikap kritis dan kreatif dalam
menanggapi berbagai fenomena dan makna yang terdapat di dalam karya sastra
sebagai produk budaya bangsa.

Sedangkan untuk penelitian pengajaran sastra dilakukan pada tahun 2007 oleh
Heri Kustomo dengan judul Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi Mahasiswa VIID
SMPN 1 Rengel Kabupaten Tuban dengan Teknik Personifikasi. Dari hasil
penelitiannya, Kustomo menemukan bahwa para murid kelas VIII-D SMPN 1 Rengel
yang pada awalnya tidak begitu menyukai pelajaran menulis puisi, pada akhirnya
setelah diterapkan pendekatan personifikasi, mereka menjadi menyukainya.
Dari hasil kedua penelitian tersebut menunjukan bahwa minat terhadap
pengajaran sastra dapat ditumbuh kembangkan dengan model pengajaran yang
bervariatif dan tepat sehingga minat siswa terhadap sastra menjadi lebih baik. Selain
itu dengan model pengajaran yang tepat sastra tidak hanya mampu meningkatkan
kemampuan berfikir kritis (critical thinking) siswa tetapi dapat menanamkan nilainilai
moral melalui pemahaman makna karya sastra (pesan yang disampaikan
didalamnya). Maka makalah ini mencoba memberikan alternatif bagaimana
mengungkapkan pesan moral melalui cerita pendek dalam pengajaran sastra.

2. Kajian Teori
2.1 Definisi Sastra
Sebelum mendeskripsikan lebih lanjut tentang moral dalam pengajaran sastra,
perlu dijelaskan tentang apa sastra itu. Hal ini dimaksudkan agar pembaca lebih
memahami apa yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. Dengan demikian, pembaca
diharapkan mampu melakukan suatu proses penjelajahan yang meningkatkan bukan
saja kepekaan dan pemahaman tentang karya satra, tetapi juga rasa sayang setelah
mengenal apa itu sastra.
Danziger dan Johnson (dalam Budianta, 2006:7) melihat sastra sebagai suatu
seni bahasa , yakni cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Tidak seperti seni musik dan lukis yang tidak menggunakan media bahasa, maka
keberadaan arti sastra juga ditentukan oleh perkembangan bahasa. Lunturnya bahasa
dengan sendirinya juga mempengaruhi nasib karya sastra. Karya-karya sastra kuno
seperti Odysey, Mahabarata, dan sebagainya sudah tidak lagi hidup sebagai sastra,
akan tetapi sebagai filsafat (Darma, 1984:51-52).

Selain bahasa, pengertian sastra bisa dilihat dari sudut lain seperti yang
dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1995:3) yang berpendapat bahwa sastra
adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. J. Bronowski (dalam Darma,
1984:50) berpendapat bahwa pencapaian manusia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
creation , invention dan discovery . Creation atau kreatifitas adalah pencapaian
dalam dunia seni, invention dan discovery dalam dunia ilmu pengetahuan. Di
antara ketiga pencapaian ini, yang paling murni adalah kreatifitas. Benua Amerika
bisa saja ditemukan oleh orang lain jika pada waktu itu Columbus tidak
menemukannya. Mesin uap bisa juga ditemukan pada waktu yang berbeda dan
penemu pertama yang bukan Thomas Alfa Edison jika saat itu Edison tidak bisa
membaca fenomena yang ada. Akan tetapi, Hamlet akan selalu menjadi milik
Shakespeare dan tidak akan pernah sama dengan Hamlet yang mungkin ditulis oleh
orang lain.

Dengan demikian, sastra merupakan suatu ciptaan dari proses kreatifitas
dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Sastra bersifat unik dan murni karena
tiap individu mempunyai style yang berbeda dalam menuangkan ceritanya.
Keberlangsungan suatu karya sastra juga ditentukan oleh perkembangan bahasa
dimana sastra bisa saja menjadi bentuk lain seperti menjadi filsafat.

2.2 Pendekatan Moral
Sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan
dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia. Karya sastra amat penting bagi
kehidupan rohani manusia. Oleh karena sastra adalah karya seni yang
bertulangpunggung pada cerita, maka mau tidak mau karya sastra dapat membawa
pesan atau imbauan kepada pembaca (Djojosuroto, 2006:80).

Pesan ini dinamakan moral atau amanat . Dengan demikian, sastra
dianggap sebagai sarana pendidikan moral (Darma, 1984:47). Moral sendiri diartikan
sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh
sebagian besar masyarakat tertentu (Semi, 1993:49). Namun kepentingan moral dalam
sastra sering tidak sejalan dengan usaha untuk menciptakan keindahan dalam karya
sastra (Darma, 1984:54). Pengalaman mental yang disampaikan pengarang belum
tentu sejalan dengan kepentingan moral. Menurut Djojosuroto (2006:81), meski moral
yang disampaikan pengarang dalam karya sastra biasanya selalu menampilkan
pengertian yang baik, tetapi jika terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai sikap dan
tingkah laku yang kurang terpuji atau tokoh antagonis, tidak berarti tingkah laku yang
kita ambil harus seperti tokoh tersebut.

Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan bahwa aspek moral
adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan
manusia dilihat dari segi baik buruknya berdasarkan pandangan hidup masyarakat.
Nilai-nilai moralis yang tercantum dalam karya sastra dapat berbentuk tingkah laku
yang sesuai dengan kesusilaan, budi pekerti, dan juga akhlak.

Dalam hubungannya dengan pengajaran, maka dapat dikatakan bahwa
pendekatan moral adalah seperangkat asumsi yang paling berkaitan tentang sastra
dalam hubungannya dengan nilai-nilai moral dan pengajarannya.

2.3 Pengajaran sastra
Mengajar berarti menyampaikan atau menularkan (Riberu, 1991:1).
Pengajaran berarti sastra berarti adanya penyampaian atau penularan ilmu mengenai
suatu ciptaan dari proses kreatifitas dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.
Ciptaan tersebut bisa berupa puisi, prosa maupun drama.

Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya
meliputi empat manfaat, yaitu (1) membantu ketrampilan berbahasa, (2)
meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, serta
(4) menunjang pembentukan watak Rahmanto, dalam Dharmojo (2007).
Pendapat Rahmanto senada dengan pendapat Djojosuroto yang
mengungkapkan bahwa sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran
kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan ketrampilan dalam berbahasa. Sastra
dapat membantu pendidikan secara utuh karena sastra dapat meningkatkan
pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, rasa dan karsa, menunjang pembentukan
watak, mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, pengetahuanpengetahuan
lain dan teknologi (2006:85).

3. Penyampaian Pesan Moral Melalui Cerita Pendek
Dalam tulisan ini diambil sebuah contoh karya sastra dalam bentuk cerita
pendek yang ditulis oleh pengarang besar Rusia, Leo Tolstoy, dengan judul God Sees
the Truth, but Waits (Tuhan Tahu tetapi Menunggu). Penyajian cerita pendek ini
berbeda dengan cerita pendek pada umumnya karena nilai moral cerita ini seolah-olah
kabur karena Tolstoy lebih tertarik pada daya tarik cerpennya daripada
menggambarkan apa yang seharusnya menurut moral terjadi. Cara Tolstoy
meretorikakan tokohnya-Aksionov- ibarat sebuah bola yang digiring ke arah jurang,
sementara yang lain percaya bahwa memang dia harus dibuang disana (penegak
hukum), padahal bukan di sanalah tempat dia (Darma, 1984:60).
God Sees the Truth, but Waits menarasikan tentang seorang saudagar muda
yang kaya raya, tampan dan baik hati dan gemar menyanyi yang bernama Ivan
Dmitrich atau yang biasa disapa dengan Aksenov. Sebelum menikah Aksenov adalah
seorang pecandu minuman dan pemarah, namun semuanya berbeda ketika dia telah
menikah. Suatu hari Aksenov mengatakan pada istrinya kalau dia akan bepergian
untuk keperluan bisnis, namun istrinya melarangnya pergi hari itu karena istrinya
bermimpi bahwa suaminya kembali dari kota dengan rambutnya yang sudah menjadi
uban. Aksenov hanya tertawa mendengar kepercayaan istrinya tentang tafsir mimpi
sehingga ia tetap melanjutkan perjalanan.

Di tengah perjalanan, Aksenov berkenalan dengan saudagar yang lain dan
kemudian mereka memutuskan untuk tinggal dalam satu kamar di suatu penginapan.
Aksenov tidak biasa tidur sore, namun hari itu ia harus melakukannya karena ia
berencana untuk melanjutkan perjalanan pada subuh keesokan harinya.
Semua berjalan seperti semula, Aksenov melanjutkan perjalanan ketika hari
masih gelap. Di tengah perjalanan ia istirahat, dan pada saat itu ia didatangi oleh
polisi yang menanyakan tentang semua yang telah dilakukan Aksenov. Setelah
menjawab semua dengan jujur dan ramah, barulah Aksenov tahu bahwa temannya
yang sekamar dengannya telah digorok lehernya hingga meninggal. Setelah diperiksa,
ternyata pisau pelaku kejahatan ada dalam tas Aksenov.

Istrinya sangat terpukul mendengar penangkapan suaminya. Saat menjenguk
Aksenov, dia merasa sangat sedih melihat istri dan anak-anaknya yang masih sangat
kecil, bahkan yang satu masih menetek ibunya. Pertemuan itu semakin menambah
kesedihan ketika petisinya ditolak oleh kaisar, terlebih ketika istrinya meragukan
apakah benar suaminya tidak bersalah. Putus asa dengan bantuan dan empati manusia,
Aksenov hanya berharap pada bantuan Tuhan. Aksenov dihukum selama 26 tahun
atas kejahatan yang tak pernah dilakukannya, selama itu pula ia hidup sebagai
kriminal di Siberia.

Di penjara, Aksenov membuat sepatu boot, rajin berdoa dan membaca bukubuku,
dan bernyanyi di gereja pada hari Minggu. Para sipir dan kriminal lainnya
menyukai Aksenov karena kelembutannya. Mereka menyebutnya Bapa atau Orang
Suci . Dia sering dimintai pendapat bila terjadi perselisihan yang tak terselesaikan.
Suatu hari datanglah segerombolan penghuni tahanan baru. Salah satunya
berusia 60 dan berasal dari kota yang sama dengan Aksenov. Makar Semenich-nama
penghuni baru tersebut-ternyata adalah pembunuh saudagar teman Aksenov dulu.
Suatu hari Makar berniat kabur dengan membuat lubang bawah tanah dan secara tidak
sengaja Aksenov memergokinya. Makar mengancam akan membunuhnya kalau dia
bercerita. Lubang tersebut akhirnya diketahui penjaga dan para tahanan diinterogasi,
namun tak satupun yang mengaku.

Akhirnya para penjaga bertanya pada Aksenov yang jujur dan bijaksana.
Ditengah kegundahan, dendam dan benci yang sangat pada Makar, Aksenov
memutuskan untuk menjawab bahwa bukan kehendak Tuhan bagi Aksenov untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Walaupun didesak, Aksenov tetap tidak
mengatakannya.

Hal ini membuat Makar sangat terenyuh. Dia memohon maaf pada Aksenov
malam harinya. Makar berjanji akan mengakui semuanya, namun bagi Aksenov
semua tidak ada gunanya karena istrinya telah meninggal dan anak-anaknya
melupakannya. Makar semakin sedih dan kembali minta maaf sampai tersedu-sedu
sehingga membuat Aksenov juga menangis. Pada saat itu dia mengatakan bahwa
Tuhan memaafkan Makar. Perasaan lega dan hilangnya keinginan untuk pulang
merupakan akhir yang membebaskan beban Aksenov karena dia hanya berharap akan
datangnya kematian. Keinginannya terwujud tepat pada saat dia hendak dibebaskan
setelah pengakuan Makar.

Aksenov merupakan simbol orang jujur dan baik hati namun bernasib sial.
Kegemarannya menolong orang dan bicaranya yang cenderung jujur sangat
kontradiktif dengan tuduhan pembunuhan yang ditujukan padanya. Balasan yang dia
dapat dari perbuatannya sangat tidak setimpal dan penderitaan tersebut dibawa sampai
akhir hayatnya. Dengan demikian cerpen ini seolah-olah bertentangan dengan hukum
alam .

Orang baik yang menemui nasib buruk merupakan tema yang kontradiktif
dalam masyarakat Indonesia. Kesulitan di Indonesia adalah adanya semacam tuntutan
bahwa sastra harus sepenuhnya bertalian dengan kepentingan moral. Dalam hal ini
Arswendo berpendapat (dalam Darma, 1984:62) bahwa Tema yang baik, setiap
perbuatan yang buruk akan musnah atau kalah dengan perbuatan yang baik, tidak
selalu berarti mutunya baik. Mutu melibatkan pengolahan dan penyuguhan
menggambarkan proses untuk menghidupkan tema . Secara umum, tidak seharusnya
orang yang tidak bersalah dan baik hati berada dalam penjara, terkurung dan
menderita secara lahir-batin sementara orang yang jahat menikmati kebebasannya dan
tetap melakukan kejahatannya. Kehilangan keluarga dan kebahagiaan seharusnya
menjadi hak dari orang yang suka menebar kejahatan.

Penderitaan Aksenov membangkitkan pathos pembaca. Pathos , yang berasal
dari bahasa Yunani, mempunyai arti ganda: simpati dengan apa yang terjadi dalam
karya sastra dan empathy , yaitu merasa secara langsung terlibat dalam apa yang
terjadi dalam karya tersebut (Darma, 1984:61). Kepawaian Tolstoy dalam
membangkitkan pathos pembaca mengalir ketika Aksenov dituduh membunuh teman
yang baru dikenalnya. Hal ini sangat sulit dipercaya karena pada awal cerita
dikisahkan bahwa Aksenov adalah karakter yang baik hati. Tolstoy menggiring emosi
pembaca lebih dalam dengan menampilkan keadaan istrinya dan anak-anaknya yang
masih sangat kecil untuk menanggung beban kehilangan seorang suami dan ayah
yang dihukum atas kejahatan yang tidak dia lakukan.
His wife was in despair, and did not know what to believe. Her children were
all quite small; one was a baby at the breast (Tolstoy, 1872:3).

Seiring dengan berkembangnya plot, istrinyapun menyangsikan kejujuran
Aksenov. Penderitaan yang mendalam membuat pelaku utama berputus asa akan
pertolongan manusia. Hanya kepada Tuhanlah diserahkan segala duka. Pembaca
semakin merasa bersimpati atas nasib Aksenov yang tidak dipercaya siapapun dalam
cerita. Penderitaan yang dialami Aksenov dikemas dalam bahasa yang menyentuh
sehingga membangkitkan empaty pembaca. Pembaca seolah-olah terlibat langsung
dengan perasaan Aksenov melalui peristiwa-peristiwa yang dialaminya.
...when he remembered that his wife also had suspected him, he said to
himself, It seems that only God can know the truth; it is to Him alone we must appeal
and from Him alone expect mercy.
And Askenov wrote to more petitions, gave up all hope, and only prayed to
God (Tolstoy, 1872:4).
Seseorang juga diharapkan berlaku adil dalam memberikan keputusan dengan
mengumpulkan bukti-bukti terlebih dahulu sebelum melakukan penangkapan dan
penghakiman. Pesan ini disampaikan melalui karakter polisi dan hakim dalam
menangkap dan menghukum Askenov. Hanya berdasarkan asumsi bahwa Askenov
adalah orang terakhir yang terlihat bersama korban maka seorang polisi menangkap
dan menjadikan Askenov kriminal tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu.
Tindakan polisi dan hakim serta kepengecutan pelaku kejahatan (Makar) telah
menghancurkan hidup Askenov dan keluarganya secara fisik dan mental. Mereka
terpisah untuk selamanya dan tidak dapat menemukan kembali kebahagiaan yang
pernah ada ketika keluarga tersebut hidup bersama. Jiwa Askenov telah mati pada hari
ketika dia dihukum seperti yang telah dikemukakannya pada Makar ketika Makar
hendak mengakui segala perbuatannya.

Walaupun demikian, penderitaan panjang Askenov membawanya menjadi
seorang yang pasrah dan dekat dengan Tuhan. Kebijaksanaannya memukau karakter
lain bahkan, sifatnya yang pengampun menuntun Makar untuk menyadari semua
kesalahannya pada Askenov. Keluhuran budi Askenov yang terbentuk dari beban
yang tiada ujung merupakan energi penggerak Makar untuk mengingat maaf dari
Tuhan selain dari Askenov sendiri.
Setelah membaca suatu karya sastra pembaca bisa merasakan tahap katarsis.
Catharsis merupakan pembersihan diri setelah menyaksikan atau membaca kisahRohmy
kisah yang tragis. Setelah membaca pengalaman pahit, tragis, bahkan berdarah yang
dialami oleh karakter hingga karakter tersebut dapat melaluinya dengan beragam cara
maka pembaca akan mencapai suatu bentuk kelegaan atau katarsis. Lega setelah
mengetahui bahwa penjahat akhirnya dihukum, lega setelah menyaksikan bahwa
pahlawan dapat menang. Namun tidak semua cerita selalu berakhir dengan
kemenangan putih atas hitam, seperti halnya dalam kehidupan nyata. Dengan
demikian, untuk mencapai katarsis, pembaca memerlukan tahap sadisme yang dialami
tokoh cerita sebelum akhirnya semua masalah terselesaikan.
Katarsis yang dirasakan oleh pembaca atas pengakuan Makar serasa tertahan
dengan tibanya ujung usia Askenov yang tidak memungkinkannya untuk merajut
kembali kebahagiaan yang seharusnya bisa diraihnya atas kebebasannya. Dalam hal
ini Leo Tolstoy membuktikan bahwa karya sastra yang bermutu bukan hanya sastra
yang happy ending dimana kejahatan selalu kalah dengan kebaikan. Lebih jauh,
kehidupan nyata tidaklah sesederhana itu, manusia seringkali harus melalui tahapan
yang sulit untuk menunjukkan kualitas dirinya. Dan jika tahapan itu terlalui dengan
baik, balasannya tidak selalu dirasakan dalam kehidupan di dunia. Terkadang manusia
harus mempertaruhkan kehidupannya untuk mencapai kebahagiaan dan hakikat hidup
yang sebenarnya.
Telaah moral tersebut diharapkan dapat menghidupkan perasaan mahasiswa
akan kepekaan mereka terhadap penderitaan dan penghargaan atas kejujuran dan
pengampunan. Dengan ikut bersimpati dan berempati pada suatu karya sastra, maka
sastra bukanlah sesuatu yang hanya ditelaah secara kaku dari unsur-unsur struktur
pembangunnya secara terpisah. Sastra merupakan suatu penuturan kehidupan yang
ditulis dengan makna didalamnya.

4. Kesimpulan
Penanaman moral dan budi pekerti dalam pengajaran akan lebih berhasil
apabila diberikan kepada anak didik kita melalui karya sastra (cerita pendek, novel,
dongeng) tentunya dengan pemilihan karya sastra yang tepat dan sesuai dengan nilai
moral akan kita tanamkan kepada anak didik. Mungkin kita masih ingat ketika kita
memberikan nasehat kepada orang lain kita sering dianggap menggurui orang
tersebut. Namun tidak demikian dengan sastra, pemberian cerita yang tepat kepada
anak didik akan mampu menamkan nilai-nilai moral dan pekerti yang lebih mendalam
serta mampu mingkatkan kempuan kognitif untuk lebih kritis menelaah suatu
permasalahan.

DAFTAR PUSTAKA
Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesiatera.
Darma, Budi. 1984. Sejumlah Esai Sastra. Jakarta: PT Karya Unipress.
Dharmojo, 2007. Critical Discourse Analysis (CDA) sebagai Model Pembelajaran
Sastra: http://cakrawalasastraindonesia.blogspot.com
Djojosuroto, K. 2006. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka
Rooijakkers. 1991. Mengajar dengan Sukses. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Sukardi. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Wellek dan Warren. 1995. Teori Kesusastraan (Terjemah oleh Melani Budianta).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wijaya, Putu. 2007. Pengajaran Sastra
http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra/ diakses 1 Juli
2008
Sarjono, Agus R. 2008:
http://www.pusatbahasa.diknas.go.id/laman/nawala.php?info=artikel&infocm
d=show&infoid=29&row=1 diakses 1 Juli 2008
------. 2003. The Best Stories and Tales of Leo Tolstoy. India: Crest Publishing House.
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar