Selasa, 05 Mei 2009

Sastra dan Masyarakat

tittle

Sastra dan Masyarakat

Sastra adalah institussi social yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pua sastra “menyajikan kehidupn” dan “kehidupan” sebagaian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan duia subjektif manusia. (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 109).

Penyair adalah warga masyarakat yang memiliki status khusus. Penyair mendapat pengakuan dan penghargaan masyarakat dan mempunyai massa walaupun hanya secara teoritis.

De Bonald menyatakan bahwa sastra adalah ungkpana perasaan masyarakat. (literature is an expression of society). (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 110). Sastra mencerminkan dan mengekspresikan hidup. Pengarang tidak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangannya tentang hidup.

Secara deskriptif keterkaitan sastra dan masyarakat dapat kita pilah sebagai berikut;
Pertama, adalah sosioloi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Masalah disini adalah dasar ekonomi produsi sastra, latar belakang sosial, status pengarangn dan ideologi pengarang yng terlihat dari berbagai kegiatan pegnarang di lur karya sastra.
Kedua, adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Yang terakhir adalah permasalahan pembaca dan dammapak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial, adalah pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis permasalahan diatas: sosiologi pengarang, isis karya sastra yang bersifat sosial, dan damapak sastra terhadapa masyarakat. (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 111-112).

Karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan atau mmilieu tempat pengarang tinggal dan berasal. Kita dapat mengumpulkan informasi latar belakang sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi pengarang. (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 112).

Latar belakang sosial ternyata tidak selalu terefleksikan dalam karya pengerangnya. Contoh dari kasus ini adalah Shelley, Carlyle, dan Tolstoy merupakan “pembelot” terhadap kelas asal mereka. Lebih lanjut lagi banyak puisi istana (Court poetry) yang ditulis oleh orang-orang dari kelas rendah yang menganut ideologi dan selera para pelindung atau patron mereka. (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 113).

Keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat dipelajari tidak hanya mealui karya-karya mereka, tetapi dari dokumen biografi. Pengarang adalah seorang warga masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik dan sosial yang penting, serta mengikuti isyu-isyu jamannya. (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 114).

Jika disususn secara sistematis, masalah asal, keterlibatan, dan ideologi sosial akan mengarah pada sosiologi pengarang sebagai tipe, atau sebagai suatu tipe pada waktu dan temapt tertentu. Kita dapat membedakan pengarang menurut kadar integrasi mereka dalam proses sosial. Pada karya-karya pop kadar ini tinggi, akan tetapi pada karya-karya yang beraliran bohemianisme, karya poete maudit, dan karya pengarang yang menekankan kebebasan berkreasi, kadar ini kecil, bahkan mungkin tercipta “distansi sosial” yang ekstrim. (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 114).

Jadi studi dasar ekonomi sastra dan status sosial pengarang mau tak mau harus memperhitungkan pembaca yang menjadi sasaran pengarang dan menjadi sumber rezeki. Bangsawan adalah pelindung seni merangkap pembaca yang cerewet. Biasanya mereka tidak hanya minta dipuja dalam karya kelasnya, tetapi juga menuntutkepatuhan pengarang pada konvensi kelasnya. (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 117).

Meskipun banyak bukti dikumpulkan, jarang ditarik kesimpulan mengenai hubungan yang pasti antara produksi ssastra dengan dasar ekonomi, atau mengai pengaruh yang apsti dari publik terhadap sastrawan. Sastrawan tetnunya tidak tergantunya mening sepnuhnya atau menuruti secara pasif selera pelindung atau publik. (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 120).

Sastra dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan. (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 120).

Kohn-Branstedt menyatakan:
“Hanya seseorang yang mempunyai pengetahuan tentang struktur sebuah masyarakat dari sumber lain di luar sastra, yang dapat menyelidiki, apakah, dan sejauh mana, tipe sosial tertentu dan perilaku direproduksikan di dalam novel. (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 124).

Para pahlawan, tokoh jahat dan wanita petualang dari dunia rekaan sering merupakan indikasi adanya sikap sosial yang serupa dengan sifat-sifat tokoh tersebut pada masyarakat jamannya. Penelitian mengenai sikap sosial seperti ini mengarah pada sejarah etika dan norma kegamaan. (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 124).

Rasanya kita tidak mungkin menerima teori yang menunjuk pada satu aktivitas manusia saja sebagai “penggerak” dari semua aktivitas lainnya. Teori Taine, misalnya, menjelaskan bagaimana proses kreasi digerakkan oleh faktor sosial, iklim, dan biologi. Teori Hegel dan pengikut-pengikutnya mengagas “spirit” adalah faktor tungggal dalam sejarah. Sedangkan Marz menjelaskan segala sesuatu dari alat produksi. Padahal sejak awal Abad Pertengahan sampai bangkitnya kapitalisme, perubahan tetknologi tidak sehebat transformasi budaya dan sastra. (Renne Wellek, dkk., Teori kesusastraan, 1990; 127).





Sastra dalam ketegangan antara tradisi dengan pembaharuan

tittle

Sastra dalam ketegangan antara tradisi dengan pembaharuan
A. Teeuw, Membaca dan Manilai Sastra, PT Gramedia, Jakarta, 1983.

Ilmu bahasa dan ilmu sastra
Para ahli makin jelas keinsafannya bahwa sastra umumnya dan puisi khususnya adalah semacam penggunaan bahasa dan bahwa penjelmaan bahasa yang khas ini tidak mungkin kita pahmi dengan sebaik-baiknya tanpa pengertian, konsepsi bahasa yang tepat. (A. Teeuw, 1983: 1)

Jakobson menyatakan bahwa “The set towards the message as such, focus on the MESSAGE for its own sake, is the POETIC function of language”. Istilah lain Mukarovsky, melalui Garvin menyatakan the function of poetic language consests in the maximum foregrounding of the utterance” (A. Teeuw, 1983: 1)

Sastra sama dengan bahasa, merupakan sebuah sistem yang kemampuannya menjadi syarat mutak untuk memahami dan mengarang karya sastra. (A. Teeuw, 1983: 1)

Sistem sastra menunjukan tiga aspek utama:
1. Externe strukturrelation (Plett, 1975: 122), sistem itu tidak otonom tetapi terikat pada sistem bahasa. Si penyair dalam penciptaanya paling tidak sebagian terikat pada sistem bahasa yang dipakainya, tidak hanya pada aspek bentuknya, tetapi pula pada sistem maknanya. Sejauh mana ada kelonggaran dan kebebasannya merupakan masalah yang menarik untuk diteliti, tetapi tidak mudah.
2. interne strukturrelation, sistem itu merupakan struktur intern, struktur dalam yang bagian dan lapisannya saling menentukan dan saling berkaitan. Sistem itu dapat disebut semacam tata sastra, “ a set of conventions for reading poetry”, menurut difinisi litarary competence;... the convention of thematic unity”(Culler: 1975: 115). Tetapi disamping itu ada konvensi yang hanya berlaku untuk kelompok karya tertentu, untuk genre tertetnu (untuk puisi, lihat Culler, Bab 8; untuk Roman, idem, Bab 9). Tata sajak, tata roman, tata drama dan lain-lain bukanlah sesuatu yang tetap, stabil,melainkan sesuatu yang selalu berubah dan bergeser. Tugas ilmuan sastra yang utama adalah mengupas sistem sastra itu, yakni menentukan konvensi sastra, baik yang paling umum, maupun yang lebih spesifik untuk jenis sastra masing-masing, dalam sebauha sistem yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kenyataan sastra itu;
3. sistem sastra juga merupakan model dunia yang sekunder, yang sangat kompleks dan bersusun-susun; puisi romantis Inggris merupakan dunia rkeaan ayng khas, demikian pula drama klasik Yunani, puisi Pujangga baru, wayang jawa. Dunia makna rekaan (yang hubungannya dengan dunia nyata penting, tetapi rumit pula, dan tidak dapat disinggung disini) ikut menentukan ciptaan sastra baru, ikut menentukan pemahaman dan penilaian pembaca mengenai karya sastra individual.
Jadi sistem sastra kompetensi sastra (entah dilihat dari pihak pembaca atau pengarang) tak dapat tidak harus dikuasai oleh pembaca/pengarang, secara sadar ataupun tidak sadar, sedangkan si peneliti sastra harus berusaha untuk mengupas, menyingkapkan, mempertanggungjawabkan sistem itu.

Karya sastra
1. Tek sastra merupakan keseluruhan yang berhingga, yang tertutup, yang batasnya (awal dan kahirnya) diberikan dengan kebulatan makna. Malahan teks itu sendiri merupakan pandangan dunia yang koheren, bulat;
2. dalam tek sastra ungkapan itu sendiri penting, diberi makna, disemantiskan segala aspeknya; barang buangan dalam pemakaian bahasa sehari-hari, “sampai bahasa” (bunyi, irama, urutan kata dan lain-lain) yang dalam percakapan begitu dipakai begitu terbuang (asal komunikasi telah berhasil), dalam karya sastra tetap berfungsi, bermakna, malahan semuanya dimaknakan dan dipertahankan maknanya.
3. dalam menampilkan ungkapan itu (foregrounding of the utterance) karya sastra pada satu pihak terikat pada konvensi, tetapi dipihak lain ada kelonggaran dan kebebasan untuk mepermainkan konvensi itu, untuk memanfaatkannya secara individual, malahan untuk menentangnya walaupu dalam penentangan itu pun pengarang masih terikat. Pengarang terpaksa- demi nilai karyanya sebagai hasil seni- untuk menyimpang baik di tingkat pemakaian bahasa, maupun di tingkat penerapan konvensi sastra. Akibatnya sistem sastra itu tidak stabil, sangat berubah-ubah. Setiap angkatan sastrawan mengubah konvensi itu sambil mamkainya dan menentangnya.

Penyimpangan itu sering disebut defamiliarisasi atau deotomatisasi, istilah yang pertama-tamadipakai oleh ahli sastra rusia dari mazhabformalis, bernama Victor Shklovsky (Erlich, 1965) yang biasa, yang normal, yang otomatis dibuang, yang dipakai harus khas, aneh, menyimpang, luar biasa. Seniman sedunia telah menemui dan insaf akan efek baik dari kejutan, si pembaca sastra harus dan ingin dikejutkan. Pada segala lapisan dan aspek sistem sastra dan sistem bahasa tersedia atau disediakan alatuntuk menghasilkan efek itu. dan membaca adalah usaha untuk mengembalikan segala yang menimpang itu kepada yang jelas, yang terang yang dapat dipahami. Kegiatan si pembaca itu dalam istilah modern biasanya disebut. Recuperation, naturalization, vraisemlablisation (Culler, 1975:137). (A. Teeuw, 1983: 3-4).




ARCA GANESYA DAN STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS

tittle

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi penghargaan kepada Prof. Edi Sedyawati, yaitu seorang tokoh ilmuan di bidang arkeologi. Prof. Edi Setyawati, selain dikenal sebagai seorang tokoh arkeologi, juga memiliki keahlian lain dibidang seni. Ia dikenal sebagai seorang penari jawa yang luwes, juga sebagai seorang pengamat kesenian jawa yang tajam.

Karena dalam rangka mengenang tokoh tersebut, tulisan ini ingin mengupas persoalan arkeologi dengan pisau Strukturalisme Levi-Strauss. Menurut penulis makalah ini, Strukturalisme Levi-Struass akan mampu mengungkap makna yang sangat penting dari tanda-tanda yang terdapat pada artefak arkeologis. Karena masih sangat minimnya kajian-kajian mengenai simbol-simbol yang terdapat dalam benda-benda arkeologis, pendekatan ini akan memberikan perspektif baru dalam telaah benda-benda arkeologis.
Ada beberapa alasan mengenai digunakannya teori Strukturalisme Levi-Strauss dalam kontek arkeologi: Pertama adanya keinginan untuk menerapkan analisis struktural pada sebuah karya seni, selain sastra, mitos, dan topeng dan lain-lain. Kedua, Strukturalisme Levi-Strauss yang sudah terkenal di Barat, ternyata belum banyak dikenal oleh ilmuan sosial budaya di Indonesia. Ketiga, teori Strukturalisme Levi-Strauss dianggap cocok dengan kondisi dunia penelitian arkeologi di Indonesia.

STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS
Strukturalisme Levi-strauss bertolak pada asumsi bahwa manusia merupakan makhluk yang dapat berkomunikasi dengan menggunakan berbagai macam tanda dan simbol, sehingga disebut dengan Animal Symbolicum (Cassirer; 1940). Artinya meskipun manusia secara biologis sama dengan hewan, namun secara kualitatif berbeda dari hewan. Perbedaan pokoknya terdapat pada kemampuannya melakukan simbolisasi. Singkatnya manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan dan mengembangkan pemaknaan atas berbagai wahana komunikasi guna menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada manusia lain.
Berdasarkan pada persepsi di atas, seluruh aktivitas yang dilakukan oleh manusia merupakan ekpresi yang mengandung simbol-simbol yang dapat diambil maknanya oleh manusia lain. Karena pada dasarnya setiap tindakan baik yang ditujukan untuk sandang, pangan dan papan tidak lain adalah fenomena komunikasi, karena menggunakan tanda dan simbol.
Fenomena kebudayaan dapat dianggap sebagai sistem atau rangkaian tanda dan simbol yang memiliki ”makna” atau lebih tepat diberi makna. Oleh karena itu model yang digunakan dalam kontek ini adalah model fonologi struktural yang dikembangkan oleh Roman jakobson. Dimana simbol dan tanda dibedakan, tanda teretak pada korelasinya, makna tidak memiliki makna referensial atau makna acuan. Sedangkan simbol memiliki acuan, dengan kata lain makna dari simbol adalah apa yang diacunya.
Satuan terkecil dalam linguistik adalah fonem, yaitu satuan bunyi yang tidak mengandung arti, namun dapat menyebabkan adanya perbedaan arti suatu kata dari kata yang lain. Contohnya adalah penulisan kata t dan th. Fonem t yang terdapat dalam kata kutuk memiliki makna sejenis ikan sungai, sedangkan th yang terdapat pada kata kuthuk memiliki makna ”anak ayam”. Disini dapat dilihat bahwa perbedaan fonem meskipun diikuti dengan fonem yang sama dapat menimbulkan perbedaan arti.
Strukturalisme mengambil model analisis struktural yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (1966). Dimana pesan-pesan yang disampaikan manusia melalui simbol-simbol itu dianggap mengikuti aturan-aturan yang ada dan bersifat sosial. Sistem sosial inilah yang disebut dengan tata bahasa. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan tata bahasa disini tidak harus berupa kalimat, tetapi segala pesan yang terekpresikan dalam berbagai bentuk simbol baik berupa gambar, gerak, bunyi-bunyian, dan lain sebagainya.
Menurut de Saussure, bahasa memiliki dua aspek, yakni aspek langue (bahasa) dan aspek parole (tuturan atau ujaran). Langue merupakan aspek sosial dari bahasa. Langue inilah yang memungkinkan terjadinya kemunikasi simbolik manusia lewat bahasa. Berbeda dengan parole yang bersifat individual. Parole seseorang berbeda dengan orang lain. Oleh karena itu setiap orang akan memiliki corak yang bermacam-macam meskipun bahasa yang mereka pergunakan sama.
Asosiasi tersebut di atas juga berlaku pada penggunaan tanda-tanda lain yang berupa mitos, musik, dan kesenian tertentu. Dipandang dari sudut pandang itu juga arkeologi dapat memanfaatkan pendekatan seperti yang sudah disebutkan di atas. Jadi artefak-artefak atau materi kebudayaan lama itu bukan sekedar diciptakan untuk tujuan ekonomis, tetapi merupakan suatu simbol dan sistem tanda. Melalui benda-benda tinggalan tersebut dapat diungkap ide-ide, pandangan mereka, yang semuanya merupakan pesan yang bersifat sosial ataupun individual. Oleh karena itu pula benda-benda arkeologis dapat juga dianalisis seperti yang dilakukan oleh para ahli bahasa.
Analisis simbolis ditujukan untuk menyingkapkan makna dari berbagai macam simbol, yang bersifat disadari, sedangkan analisis semiotis dimaksudkan untuk mengungkapkan makna yang ada di balik benda-benda kebudayaan yang sering bersifat nirsadar atau tidak disadari. Karena itulah diperlukan suatu metode penempatan secara sintagmatis dan paradigmatis. Untuk memudahkan pemahaman makna sintakmatis dan paradigmatis dapat dilihat pada contoh berikut ini. Dalam kaliamat ”Penduduk desa itu seribu jiwa”. Kata desa memiliki hubungan sintagmatis dengan kata jiwa. Namun kata itu juga memiliki hubungan paradigmatis dengan kata lain seperti kampung, nagari, dusun, kota. Sedangkan kata jiwa berada dalam rantai paradigmatis dengan kata roh, nyawa, manusia, orang, ingatan dan seterusnya. Kontek sintagmatis menentukan kata mana yang dipakai dalam sebuah kalimat.
Dengan memanfaatkan model yang digunakan di atas, penelitian benda-benda arkeologis dapat mengungkap bukan hanya makna simbol-simbol, tetapi juga mengungkap makna ”tata bahasa” yang ada dalam proses penciptaan benda-benda simbolis itu sendiri. Ketentuan–ketentuan yang mengatur proses penggabungan berbagai macam tanda dan ciri simbolis yang bersifat tidak disadari, menyampaikan pesan-pesan yang abstrak melalui berbagai macam tanda dan simbol yang lebih kongkrit. ***

STRUKTUR DAN TRANSFORMASI
Struktur merupakan model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala atau peristiwa kebudyaan yang ditelaahnya. Dalam hal ini struktur dibedakan menjadi dua; yaitu struktur luar (Surface structure) dan struktur dalam (Deep structure). Struktur luar adalah susunan unsur-unsur yang dapat kita buat atau bangun atas dasar ciri-ciri luar atau empiris dari unsur-unsur tersebut. Sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan struktur luar yang berhasil kita buat, yang tidak selalu tampak pada sisi luar. Struktur dalam dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil ditemukan dan dibangun. Struktur dalam inilah yang dalam sturturalisme disebut dengan model.
Selain struktur tersebut di atas, pendekatan strukturalisme tidak bisa lepas dengan konsep transformasi. Transformasi memiliki makna perubahan yang bermakna alih rupa atau dalam bahasa jawa malih. Yaitu sutau perubahan yang terjadi pada tataran permukaan saja, sedangkan pada permukaan yang paling dalam tidak terjadi perubahan. Contoh transformasi terdapat dalam variasi kalimat berikut ini;
1). Saya akan pergi ke kota
2). Aku arep lunga menyang negara
3). Kulo ajeng kesah teng negara
4). Dalem badhe tindak dateng negari
5). I will go to the city

Makna dari kelima kalimat di atas memiliki kesamaan, hanya saja bahasa yang digunakan berbeda. Bahkan meskipun dalam bahasa yang sama bisa menggunakan ungkapan yang berbeda.
Tujuan analisis struktural adalah menemukan struktur dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu analisis struktural tidak membicarakan proses perubahan. Ini tidak berarti bahwa strukturalisme menolak atau anti proses perubahan. Anaisis struktural memang tidak memusatkan perhatiannya pada soal perubahan, tetapi pada soal keberadaan struktur.

ARCA GANESYA JAWA DALAM KAJIAN KONTEKSTUAL DAN STRUKTURAL
Kajian simbolis terhadap Ganesya pernah dilakukan oleh Alice Getty (1971), yang lebih diarahkan pada ciri-ciri ikonografi. Oleh karena itu penelitian tersebut bersifat deskriptif, komparaif juga ditributif. Getty lebih memperhatikan pada persamaan dan perbedaan ciri-ciri ikonografis berbagai macam arca Ganesya. Metode ini nampaknya tidak efektif karena kita akan semakin kesulitan dengan semakin banyaknya simbol-simbol yang terdapat pada masing-masing arca tersebut.

Analisis Edi Styawati atas Arca Ganesya: Analisis Kontektual
Analisis yang dilakukan oleh Edi Sedyawati mencoba mengabstraksikan variasi detail dari arca Ganesya. Pola-pola yang ditemukan dihubungkan dengan konteks sosial politik masyarakat yang menciptakan arca Ganesya tersebut. Ia mampu menceritakan detail dari ciri-ciri ikonografis arca Ganesya yang rumit, tanpa melupakan tataran pola dari ciri-ciri tersebut, yang berkaitan dengan pola lain yang ada di luar konstelasi ciri ikonografis arca Ganesya itu sendiri.
Kajian yang dilakukan olehnya mengambil arca yang dibuat pada masa Kadiri dan Singasari (1994), yang merupakan kajian kontektual. Kajian pengarcaan tokoh Ganesya ini dengan jelas mencoba memahami perbedaan arca-arca Ganesya yang berasal dari masa kerajaan yang berbeda yaitu Kadiri dan Singasari. Selain itu kajian yang dilakukan oleh Prof. Edi Sedyawati juga berkaitan dengan persebaran pengaruh yang ada pada arca Ganesya yang terdapat di daerah lain. Dalam kesimpulannya ia menyatakan bahwa masa Singasari merupakan masa kejaan pengarcaan Ganesya di Jawa.
Menurut penulis makalah ini masih ada kelemahan dari apa yang telah dilakukan dalam penelitian ini. Kelemahan tersebut terdapat pada ketidaktepatan pada pendekatan yang digunakan. Walhasil, apa yang dihasilkan dari penelitian tersebut sekedar membuahkan hipotesis, bukan rumusan hubungan fungsional antar fenomena yang lebih pasti.
Ibu Edi lebih tertarik pada fungsi fenomena yang ditelitinya, yakni pengarcaan Ganesya. Analisis fungsionalnya banyak mengandung kelemahan yang tetap sulit diatasi meskipun beberapa asumsi dasarnya telah diubah agar lebih sesuai dengan hasil yang ingin dicapai dan metode peneitian yang digunakan.

ANALISIS STRUKTURAL ARCA GANESYA JAWA: SEBUAH UJI COBA
Kajian ini mencoba menganalisis benda-benda arkeologis dengan model struktur linguistik. Analisis juga dimulai dari unit yan terkecil, dalam bahasa yang disebut dengan fonem, sedangkan dalam benda (artefak) arkeologis komponen terkecilnya desebut dengan bentuk atau style. Tetapi jika analisis ditekankan pada motif, maka bentuk terkecil bisa berupa garis-garis. Bentuk berupa variasi garis dan kombinasinya. Variasi garis, dari garis lurus dan lengkung menghasilkan corak yang berbeda-beda dari masing-masing orang dan itulah yang disebut dengan gaya.
Bentuk atau pola yang ada dalam suatu artefak diyakini akan berulang pada pembentukan benda-benda arkeologis yang lain. Dalam arti bahwa suatu bentuk akan merupakan pola-ola yang sudah dibentuk pada awalnya dan hal itu berarti langue dari artefak-artefak tersebut. Pada saat yang sama kita juga akan dapat melihat berbagai macam rantai sintagmatis benda-benda arkeologis, yang merupakan perwudjudan dari suatu struktur tertentu, yang berada pada tingkat yang tidak disadari oleh masyarakat pengghasil benda-benda arkeologis itu sendiri. Rangkaian rantai sintagmatis arkeologis ini dapat kita pahami sebagai suatu rangkaian transformasi.
Langkah awal yang bisa dilakukan dalam menganalisis arca Ganesya adalah dengan penggolongan ciri-ciri ikonografi Ganesya. Ada dua ciri ikonografi yaitu; 1). Ciri ikonografik umum, dan 2). Ciri ikonografik khusus. Ciri pertama “yang menandai identitas arca Ganesya yang mana pun”. Artinya untuk dapat dikatakan sebagai arca Ganesya, arca tersebut harus memiliki ciri-ciri tersebut. Ciri-ciri umum Ganesya digunakan sebagai kriteria awal untuk memilih satuan-satuan pengamatan”. Tanda-tanda umum diataranya adalah a). Kepala gajah berbelalai, b). Badan manusia, c). Kaki berbentuk kaki manusia tetapi sangat tambun.
Ciri kedua adalah ciri khusus yang “memperkuat penandaan atas Ganesya berdasarkan atas mitos-mitos yang beredar, yang pemiliknya dapat bervarisasi dari arca ke arca” dan tanda-tanda inkonografi khusus Ganesya ini meliputi sejumlah laksana, di antaranya adalah 1). Badan gemuk, 2). Perut buncit, 3). Mata ketiga, 4). Taring patah sebelah, 5). Benda-benda tertetu yang dipegang tangannya, 6). Upawita ular, 7). Tengkorak, dan 8). Bulan sabit atau salah satu dari yang dua itu sebagai hiasan mahkota, 9). Asana yang berupa deretan tengkorak, ditambah dengan 10). Tangan dan lengan yang berjumlah empat, mekipun tanda yang terakhir ini lebih merupakan tanda dari arca dewa pada umumnya daripada tanda Ganesya (Sedyawati; 1994: 75). Tanda-tanda tersebut di atas tidak semuanya ada pada arca Ganesya, namun yang akan dianalisis dengan metode strukturalisme berpijak pada tanda-tanda tersebut.
Sebenarnya pada penelitian yang di lakukan oleh ibu Edi sudah mendekati penggunaan seperti yang ada dalam strukturalisme. Seperti dapat terlihat pada korelasi yang digunakan antara “perut tak buncit” dan “badan tak gemuk”. Namun demikian deskripsi dari korelasi tersebut belum menemukan beberapa koralasi yang diharapkan seperti dalam model strukturalisme.
Ada empat kombinasi yang dianalisis berkenaan dengan arca Ganesya; yaitu 1) mata ketiga, 2) upawita ular, 3) hiasan mahkota: tengkorak bulan sabit, dan 4) asana tengkorak. Sebenarnya masih banyak ciri-ciri atau pola lain yang terdapat pada arca Ganesya, namun peneliti tidak memberi alasan mengapa hanya empat yang dijadikan rujukan dalam deskripsi tersebut. Yang jelas keempat ciri ini merupakan lambang kesiwaan. Karena berfungsi membedakan, ciri-ciri khusus ini dapat dikatakan sebagai distinctive featurenya. Pada tanda-tanda ini terdapat berbagai kombinasi yang berganti-ganti (bertransformasi), yang memperlihatkan logika tertentu atau mengandung makna simbolis tertentu. Ciri-ciri khusus ini menggambarkan pula fungsi-fungsi sintagmatis dan fungsi paradigmatis sebagaimana yang terdapat dalam fonem bahasa.
Dari keempat pola tersebut di atas akan menghasilkan kombinasi yang berbeda-beda tergantung dari mana kita memfokuskan perhatian kita. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut tentunya memiliki makna tertentu.disinilah terbuka kesempatan bagi peneliti untuk mengungkap pesan-pesan yang terdapat dalam variasi-variasi atau perbedaan tersebut. Dari perbedaan-perbedaan tersebut juga akan ditemukan informasi tentang logika atau pola pemikiran yang ada di balik pembuatan arca Ganesya atau ‘tata bahasa’ pengarcaan tokoh Ganesya di Jawa.
Selain akan menemukan logika yang digunakan dalam variasi-variasi pola, kemungkinan juga akan ditemukan korelasi tertentu seperti misalnya kontek keagamaan. Kemungkinan adanya perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan hidup, sekte, ataupun ritual tertentu. Inilah salah satu manfaat dari pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss jika digunakkan dalam menganalisis benda-benda arkeologis.

Kesimpulan
Untuk bisa menerima pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss sebagai bagian dari pendekatan dalam bidang arkeologi, harus dipahami asumsi dasarnya bahwa situs arkeologis tersebut pada dasarnya merupakan serangkaian tanda atau simbol yang digunakan untuk menyampaikan pesan tertentu. Dengan metode pendekatan Strukturalisme Levi-Straus akan dapat melihat sesuatu yang sebelumnya tidak terlihat. Yang berarti bahwa melalui pendekatan struktural potensi benda-benda budaya arkeologis kiranya dapat kita tingkatkan, dengan memberi penafsiran yang menghasilkan makna baru. Dengan demikian model ini akan memperkaya khazanah pengetahuan dan pemaknaan kita terhadap benda-benda arkeologis tersebut.
Model ini juga memungkinkan kita menjelaskan fenomena budaya yang terdapat dalam artefak arkeologis dengan membandingkan persamaan dan perbedaan melalui tafsir yang terdapat dalam benda-benda tersebut. Sehingga apa yang terdapat dalam benda-benda arkeologis dapat dijelaskan secara sistematis. Karena kita akan mengetahui transformasi yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat lampau serta perkembangannya sampai masa kini. Dan hal ini tidak akan ditemukan dalam paradigma antropologi yang lain.
Tulisan ini telah membuka cakrawala pemahaman kita akan berbagai kemungkinan-kemungkinan keterkaitan atau hubungan yang begitu luas terhadap sebuah paradigma. Persoalan bahasa ternyata bukan hanya sebatas pada pemahaman struktur kalimat saja, namun berkaitan juga dengan berbagai hasil budaya yang secara langsung berkaitan dengan pemahaman masyarakat penganut kebudayaan tersebut. Dalam kaitannya dengan benda-benda arkeologis, kita menjadi sadar bahwa apa yang dibuat oleh manusia meskipun tidak berupa tulisan, namun benda peninggalan berbentuk apapun dapat ditafsirkan sebagai sebuah pesan akan masyarakat tersebut, baik dari kepercayaan, kebiasaan dan berbagai aspek kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Minggu, 12 April 2009

Interpreter of Maladies (Paperback)

tittle

From Publishers Weekly
The rituals of traditional Indian domesticityAcurry-making, hair-vermilioningAboth buttress the characters of Lahiri's elegant first collection and mark the measure of these fragile people's dissolution. Frequently finding themselves in Cambridge, Mass., or similar but unnamed Eastern seaboard university towns, Lahiri's characters suffer on an intimate level the dislocation and disruption brought on by India's tumultuous political history. Displaced to the States by her husband's appointment as a professor of mathematics, Mrs. Sen (in the same-named story) leaves her expensive and extensive collection of saris folded neatly in the drawer. The two things that sustain her, as the little boy she looks after every afternoon notices, are aerograms from homeAwritten by family members who so deeply misunderstand the nature of her life that they envy herAand the fresh fish she buys to remind her of Calcutta. The arranged marriage of "This Blessed House" mismatches the conservative, self-conscious Sanjeev with ebullient, dramatic TwinkleAa smoker and drinker who wears leopard-print high heels and takes joy in the plastic Christian paraphernalia she discovers in their new house. In "A Real Durwan," the middle-class occupants of a tenement in post-partition Calcutta tolerate the rantings of the stair-sweeper Boori Ma. Delusions of grandeur and lament for what she's lostA"such comforts you cannot even dream them"Agive her an odd, Chekhovian charm but ultimately do not convince her bourgeois audience that she is a desirable fixture in their up-and-coming property. Lahiri's touch in these nine tales is delicate, but her observations remain damningly accurate, and her bittersweet stories are unhampered by nostalgia. Foreign rights sold in England, France and Germany; author tour.
Copyright 1999 Reed Business Information, Inc.


Unaccustomed Earth: Stories (Vintage Contemporaries) (Paperback)

tittle

Nathaniel Hawthorne wrote, "Human nature will not flourish, any more than a potato, if it be planted and replanted, for too long a series of generations, in the same worn out soil. My children ... shall strike their roots into unaccustomed earth." This quote, which was a revelation to me, so much so that I redid my work e-mail "inspiration quote" signature to put it it, is the inspiration of Jhumpa Lahiri's new collection of short stories called "Unaccustomed Earth".


The White Tiger: A Novel (Man Booker Prize) (Paperback)

tittle

From Publishers Weekly
Starred Review. First-time author Adiga has created a memorable tale of one taxi driver's hellish experience in modern India. Told with close attention to detail, whether it be the vivid portrait of India he paints or the transformation of Balram Halwai into a bloodthirsty murderer, Adiga writes like a seasoned professional. John Lee delivers an absolutely stunning performance, reading with a realistic and unforced East Indian dialect. He brings the story to life, reading with passion and respect for Adiga's prose. Lee currently sits at the top of the professional narrator's ladder; an actor so gifted both in his delivery and expansive palette of vocal abilities that he makes it sound easy. A Free Press hardcover (Reviews, Jan. 14). (May)
Copyright © Reed Business Information, a division of Reed Elsevier Inc. All rights reserved. --This text refers to the Audio CD edition.


Out Stealing Horses: A Novel (Paperback)

tittle

This is one of the best novels to come out of Scandinavia in recent years. Written from the point of view of a 70-year old man reflecting on the time he spent with his father near the Swedish border during the Second World War, the narrative present of the novel alternates back and forth between his current solitude and his adolescent confusion over his father's wartime activities. The novel is enormously sad and haunting, and the language beautifully simple and evocative.